CERPEN : JALAN SIMPANG

CERPEN : JALAN SIMPANG

JALAN SIMPANG

Karya: Sekar Arum Srigati

Malam terasa pekat di Jalan Simpang. Suasana itu baru kusadari, setelah aku melangkah hingga sampai jalur atas. Rasa sesal dan takut mulai tumbuh dalam hati. Kenapa aku tidak ikut pulang bersama dua temanku tadi? Mungkin saat ini mereka sudah di rumah. Sudah memberi makan ternaknya dengan rumput segar yang didapat di kaki jalan simpang ini. Di bawah sana. Kurang lebih 200 meter dari tempat kuberdiri saat ini. Kenapa aku harus mengikuti rasa penasaranku. Berdoa di makam Kyai Kanjeng Giri. Kabarnya siapa yang mau berdoa dengan kusyuk ditempat itu, suatu hari doanya akan terkabul. Padahal aku hanya ingin tahu, lalu berdoa, agar diberi petunjuk, kenapa orang sebaik Mbah Wiro harus meninggal karena kualat. Kualat karena apa? Hal itu yang membuatku hingga menjelang malam tersesat di jalur simpang atas ini.

Jalur atas, menuju makam Kanjeng Giri, terlihat begitu mencekam. Gelap. Yang pasti, tak ada satu pun cahaya lampu di sisi jalan.  Pohon-pohon yang menjulang, dengan dedaunan yang merumpun dari berbagai ranting, tampak seperti gerak-gerik bayang-bayang saat tersapu cahaya malam. Tubuh ini terasa keder dan bikin bulu kuduk merinding dingin. Menakutkan. Ini memang bukan persimpangan biasa yang berpoles aspal dengan ditemani cahaya neon. Ini persimpangan tanah basah. Persimpangan yang dikenal sebagai persimpangan Kanjeng Giri.

Bagi warga kampung ini, Kanjeng Giri adalah seorang pertapa yang babat alas kali pertama di desaku. Makamnya terletak tidak jauh, 100 meter dari jalur atas tempatku berdiri saat ini. Tepat dibelakang pohon besar yang merupakan penanda letak makam.“Persimpangan yang menakutkan. Persis seperti yang diceritakan Bapak,” batinku. Aku merinding, bulu kudukku terus menerus menegang. Kini, aku berdiri di jalur persimpangan angker. Di jalur kiri, bersandar pada batang besar pohon tua yang tertanam kokoh di sudut jalan.

Kurasakan angin malam melintas. Beriringan dengan gemuruh dan suara gesekan dedaunan. Tidak berapa lama, tiba-tiba, terdengar suara keras diikuti kilatan cahaya yang menampar. Duuaaaarrr!!!! Jalanan sempat terlihat terang. Mataku menyipit, tubuhku gemetar hebat. Dari kilatan itu, aku melihat jajaran nampan sesaji berisi bunga berlapis daun pisang di pinggiran jalan persimpangan hingga ke arah tempatku berdiri. Mataku kembali menangkap sesuatu yang membuat jantungku kian berdetak. Sesaji? Bukankah itu alat perlengkapan prosesi kemarin yang dilakukan warga desa agar terhindar dari bahaya dan kutukan kualat. Selain itu, sesaji itu juga dimaksudkan untuk persembahan atas rasa terima kasih kepada danyang di tempat jalan simpang. Konon, danyang itu bertugas menjaga ketenangan hutan yang sudah dipercayai warga sejak dulu. Kreeek! Di depanku, sebuah nampan sesaji bergeming pelan tertendang gerak kakiku, “Aduh, bisa kualat aku,” sesalku dengan kesal. Pikiranku tiba-tiba saja menghubung ke sebab kematian Mbah Wiro. Yang terkabar, meninggal karena mengusik nampang sesaji.

Duaar..! Kilatan cahaya kembali menyambar. Tubuhku semakin gemetar. Bulu kudukku berdiri tegang. Tegang sekali!! Bersamaan dengan itu, mataku seperti menangkap sebuah bayangan. Sebuah sosok tubuh yang melintas di depan mataku. Lalu menyusul suara langkah kaki. Semakin dekat. Dengan sisa-sisa keberanian, aku bersembunyi di balik pohon tempatku bersandar. Kupejamkan mataku. Kurapal segala doa yang ku tahu.

Assallamualaikum. Bismillahirromanirrohim. Nuwun sewu Mbah, Dalem tidak bermaksud seperti Mbah Wiro. Ampun Mbah..ampun.” Batinku terus berdoa. Mataku memejam. Aku sungguh tak ingin menjadi korban seperti Mbah Wiro. Aku benar-benar ketakutan. Aku hanya tidak sengaja menendang sesaji itu. Aku tidak ada maksud untuk mengambil sesaji itu seperti cerita atas apa yang dilakukan Mbah Wiro. Aku terus berharap dalam batin, agar danyang itu, bisa mendengar bahasa doaku. Agar juga mau memaklumi niatku untuk datang ke tempat ini.“Bapak benar. Seharusnya aku tak di sini. Mereka nyata! Penunggu itu bukan omong kosong,” yakinku.

Badanku menggigil. Kematian misterius Mbah Wiro kembali memenuhi ingatan. Sungguh kematian yang misterius. Kenapa orang sebaik Mbah Wiro harus meninggal dengan cara seperti itu. Seolah, kisah dan kondisi meninggalnya Mbah Wiro bagai layar film yang memenuhi rongga mataku. Terus bergelayut dalam ingatan di kepalaku. Persis seperti yang dikisahkan dalam cerita Bapak. Jasad Mbah Wiro, tergeletak di muka jalan, persis di depan gerbang masuk dekat makam Kanjeng Giri. Mbah Wiro, kabarnya melanggar aturan adat sebab makan makanan sesaji yang diperuntukkan bagi penunggu persimpangan. Mbah Wiro kualat. Begitu cerita yang terus menerus disampaikan Bapak kepadaku. Bahkan juga kepada seluruh warga kampung. Dan kini, aku berada di tempat kematian Mbah Wiro. Di dekat jalur yang bisa menelan nyawa siapa saja. Kembali kutatap jalur simpang arah ke bawah. Rasanya ingin aku berlari kembali ke arah kampung. Bagaimana bila nanti aku seperti Mbah Wiro? Tanpa pikir panjang kuambil keputusan. Kemudian semua gelap.

***

Aku terbangun. Aku masih belum tersadar betul. Tubuhku masih terbaring di atas kasur kamar. Pikiranku masih melayang. Pertanyaan-pertanyaan sulit kembali mengisi otakku. Mimpikah aku? Bukankah kemarin aku ingin berdoa di makam Kyai Kanjeng? Kenapa sekarang aku terbaring di kamar. Suasana riuh di depan dan didalam rumah mulai terdengar. Bahkan, kamar terasa panas. Mataku menyapu orang-orang yang berdiri berdesakan. Terlihat sorot mata mereka ingin mencuri pandang padaku. Aku juga mulai mendengar pembicaraan-pembicaraan yang menegangkan dari mereka. Iso-iso kualat iku Kedadeyan maneh,”  dengarku sekilas.

Belum sempat aku mendengar obrolan-obrolan mereka lebih lanjut, dari pintu kamar tampak Ibu, Bapak dan Mbah Suro memasuki kamarku. Lamat kulihat seperti ada rasa tegang dalam wajah Ibu dan Bapak. Mereka seolah sedang menanggung beban yang berat. Saat itu juga aku baru tersadar dan langsung menebak jika ini ada kaitannya dengan peristiwa yang aku alami di jalan simpang jalur atas.

Aku mencoba bangkit. Tapi tubuhku terasa sakit. Dan punggunggku terasa ada yang ngilu.”Sudah Nu, istirahat dulu. Tidak apa-apa. Ini juga ada Mbah Suro yang akan segera menyelesaikan urusannya nanti, Nak,”  ujar Ibu sambil menenangkanku. Lalu kutoleh ke Mbah Suro. Ya, Mbah Suro adalah saudara kandung satu-satunya Mbah Wiro. Mbah Suro juga dikenal sebagai orang pintar di desa ini. Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Keberadaan Mbah Suro di rumah, berarti ada kaitannya dengan keberadaanku kemarin waktu di jalur simpang atas. Tapi apa yang terjadi pada diriku.

“Urusan nanti. Urusan apa Bu? Ada apa dengan aku Bu?” tanyaku dengan penuh penasaran. Ibu tak langsung menjawab. Ia seperti pasrah pada Mbah Suro. Mata Ibu terlihat sembab dan sepertinya menyimpan rasa takut dan kekuatiran.

“Tadi malam kamu tidak pulang Nu. Seluruh kampung pada bingung mencari kamu. Baru Subuh tadi, Kang Marno dan warga membopongmu pulang dengan kondisi kamu tidak sadar,” terang Bapak dengan suara yang terdengar parau.

“Sudahlah, tidak apa-apa Nak. Yang penting kamu sekarang sudah ada di rumah dan masih dalam keadaan selamat,” pungkas Mbah Suro dengan tenang. Lalu, ia meminta izin padaku untuk memeriksa dengan kekuatan mata batinnya.

Mbah Suro menatapku. Matanya menerawang dalam,  seperti meradang, menelusuk ke masa mencekam malam kemarin. “WIRO!” teriak Mbah Suro tiba-tiba. Tegang, jantungan! Semua seperti terkena gebrakan dahsyat dalam sekejap. Mata mereka melotot dengan pandangan serius. Mbah Wiro, nama yang diteriakkan Mbah Suro mendebarkan jantungku. Mungkin pula warga lain. Kenapa tiba-tiba Mbah Suro berteriak? Wajah tuanya nampak gelisah. Pandangan Mbah Suro yang memejam sesaat itu, membuatku merinding turut gelisah. Lalu ia mengusap wajahku hingga tiga kali, dan meniup jidatku setelah merapal doa. “Yakinlah Nu, Insya Allah, Gusti Allah akan memberi jalan keluar. Ingat Nak, Gusti Allah itu moho pengampun. Wis ora usah wedi lan kuatir,” urai Mbah Suro.

Sontak semua warga yang ada, ikut-ikutan tegang dan terkejut.  Aku gusar, gugup! Kian bingung dan takut. Bagaimana jika aku kualat. Bahkan para warga seolah juga menyimpan pertanyaan itu di benak mereka. Pertanyaan ini membuatku terdiam kaku. Harap-harap cemas. Bagaimana nanti nasibku? Bayangan kematian Mbah Wiro melintas di benakku. Ah, apa iya semua akan berakhir seperti itu? “Kalau sudah seperti ini, harus ada dua tebusan,” tegas Mbah Suro. Katanya, jika dua tebusan yang ia sampaikan itu tidak dijalani risikonya akan sama seperti yang menimpa Mbah Wiro. Kualat!

Mbah Suro, menceritakan ulang akan kematian saudara kandungnya itu.

“Kejadian kualat Mbah Wiro, bisa akan kembali terjadi di desa ini, bila dua cara tadi tidak kita jalani,” tegas Mbah Suro pada Bapak dan Ibu, yang juga didengar oleh seluruh warga yang ada di rumahku.

“Menurut mata batin saya, danyang di jalur simpang atas itu marah, sebab sesajinya terusik. Jadi, tebusan yang pertama, Danu kudu diruwat!” jelas Mbah Suro dengan tatapan menerawang. Aku terdiam, menangis dalam hati. Kulirik Bapak dan Ibu, mereka mangangguk setuju. Setuju akan ruwatanku.

“Tebusan yang kedua, Danu juga harus minta maaf pada danyang sana. Minta maaf seorang diri di Makam Kyai Kanjeng Giri,” lanjut Mbah Suro menatapku tajam. Seolah mengisyaratkan sesuatu ke dalam pandang mataku. Bapak melangkah maju. Dahinya mengernyit seperti menangkap sesuatu hal yang mengganjal.

“Mbah, apa itu harus? Danu masih bocah. Sebagai Bapaknya, saya tak sampai hati membiarkan dia sendiri ke Makam Kyai Kanjeng. Apa tidak bisa saya gantikan saja, Mbah?” pinta Bapak. Mbah Suro memandang Bapak sebentar, lalu menggeleng.

“Tidak bisa, Pak. Ini adat, musti dituruti. Danu tetap harus meminta maaf seorang diri!” kukuh Mbah Suro. Di sela-sela itu, dia juga menyampaikan akan hasil terawangannya, jika aku berhasil melakukan kedua tebusan itu,

“Nanti kita  juga akan mendapat kabar, sebab apa Wiro adikku meninggal, jika Danu berhasil menjalani kedua tebusan itu,” imbuh Mbah Suro yang kian membikin rasa penasaran seluruh warga. Termasuk aku. Bulu kudukku bergidik. Sendirian ke makam keramat? Susah kubayangkan. Mendengarnya saja aku takut minta ampun.

Beda halnya dengan Bapak. Bapak sepertinya tidak setuju. Bapak mendesis tajam, berulang kali menawar keputusan Mbah Suro. Tapi, Mbah Suro teguh akan pendiriannya. Bahkan seperti terlihat ada tatapan tajam di antara keduanya. Seperti tatapan ganjil yang menyiratkan ada sesuatu hal yang dirahasiakan. Bahkan sempat terlontar ucapan Bapak ke Mbah Suro, kalau dia tidak percaya dengan semua terawangan Mbah Suro. Tapi Mbah Suro tidak menggubrisnya. Intinya, aku harus minta maaf! Kalau tidak, aku bakal bernasib seperti Mbah Wiro!

***

Ini esok yang muram dan melelahkan bagiku. Acara ruwatan, minta maaf pada danyang di makam Kyai Kanjeng Giri memenuhi pikiranku. Kian rumit saja. Ruwatan dengan segala prosesinya sudah kujalani. Itu pun dibantu para sesepuh warga dan Mbah Suro.

Pada acara itu Bapak sama sekali tidak terlibat banyak. Bapak hanya melihat-lihat saja. Sesekali sambil melihat dengan pandangan tidak suka pada apa yang dilakukan oleh Mbah Suro. Baginya ruwatan semacam ini adalah prosesi yang tak ada gunanya. Buat apa dialksanakan ruwatan segala? Buang-buang waktu dan biaya saja.

Setelah itu hingga malam penebusan kedua Bapak sama sekali tidak terlihat. Menjelang pemberangkatan dan upacara permohonan restu pada keluarga pun Bapak juga tidak tampak. Aku tidak tahu di mana keberadaan Bapak. Hal itu tentu menimbulkan praduga pada warga. Walaupun tidak setuju terhadap Mbah Suro, harapan mereka bapak berkenan mendampingiku. Bukan malah menghindar untuk menunjukkan rasa ketaksukaannya kepada Mbah Suro.

Waktunya telah tiba. Begitu kata Mbah Suro mengingatkan. Lalu ia membisikkan sesuatu di telingaku. Aku sempat terhenyak mendengar bisikan itu. Benarkah? Kenapa Mbah Suro begitu yakin bahwa nanti aku akan mendapatkan jawaban juga sebab dari kematian Mbah Wiro. Bisikan itu sebenarnya kian mengikis rasa takutku. Tapi, yang sempat membuat aku bingung ketika kata terakhir yang ia bisikkan menyebut soal Bapak. Dan sayangnya ada beberapa kata yang tidak tertangkap jelas dalam bisikkannya.

Malam mencekam di jalan jalur simpang atas mulai terasa lagi. Deru halilintar yang menyambar-nyambar bercampur gerimis kian menambah suasana yang menakutkan. Aku berjalan pelan mendekati jalur atas. Hingga tak terasa sudah mau mendekati jalur gerbang menuju hutan desa. Hutan tempat bersemayam makam Kyai Kanjeng Giri. Angin tiba-tiba saja melintas kecil. Aku berhenti. Rasanya seperti berdiri di depan pintu gerbang. Bukan dinding, tapi rumput gajah yang tumbuh menjulang melebihi tinggiku. Perlahan rumput itu bergoyang seiring angin yang kembali lewat. Derit ranting pohon juga terdengar. Suasana ini mengintimidasiku. Hening tapi mencekam. Cerita mistik kematian Mbah Wiro menelusuk kembali ke batin. Takut.

Aku menghela napas.  Kucoba untuk membuang keraguan yang menyelimuti relung hatiku. Tak bisa kupungkiri jika malam ini aku benar-benar takut. Sendirian di hutan untuk menjalani ritual yang sungguh tak bisa kunalar, teramat sulit. Terlebih sesekali lolongan anjing terdengar di kejauhan. Menggelayut erat pada tapak kakiku.

Tapi, bisikkan Mbah Suro soal kabar kematian Mbah Wiro dan kaitannya dengan Bapak, mampu mengalahkan rasa takutku. Segera kuenyahkan kegalauan ini. Aku harus segera minta maaf lalu semua selesai. Kutelusuri jalur atas hingga masuk ke dalam pintu gerbang hutan. Ada yang ganjil dalam benakku ketika tiba-tiba mataku melihat pohon semakin jarang di tengah hutan. Semak belukar menipis. Jalanan licin dengan dedaunan kering berserakan. Awal tadi, rumput masih rimbun dan pohon masih rapat. Namun, semua menyusut perlahan. Kalaupun masuk hanya beberapa meter dari muka jalur atas. Seingatku, prosesi adat hanya dilakukan di minggu awal pergantian bulan

Di depan sana, sebuah pohon besar tumbuh. Diameternya begitu lebar. Pohon itu nampak kokoh dan garang ketimbang lainnya. Kudekati pohon itu menuju baliknya, makam lawas. Tempatku meminta maaf. Krek! Kaki kananku menginjak sebuah benda keras. Kuambil benda itu. Korek api! Bagaimana mungkin di tempat ini ada korek api? Apa sisa prosesi adat? Tapi, sejauh ini? Tap! Tap! Tap! Suara langkah kaki! Kubuang pecahan korek lalu bersembunyi di balik pohon besar makam. Aku melihat seseorang. Tubuhnya agak besar, tegap. Dan bersama orang lain yang mengikuti dari belakang. Orang itu, ah! Itu Bapak! Aku tak habis pikir.

Kenapa Bapak di sini bersama banyak orang? Apa Bapak mau menggantikanku minta maaf? Lalu siapa orang-orang yang menakutkan itu? Aku terdiam mengamati. Kalau benar begitu, berarti Bapak memang mau menggantikanku. Dan itu berarti Bapak benar-benar tidak percaya dengan terawangan Mbah Suro.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus memburu di benakku. Berikutnya terus tumbuh banyak hal dalam pikiranku. Aku mulai beranggapan jika Bapak ingin membuktikan penebusan itu yang bisa ia gantikan. Berarti sangat beralasan kalau dia melarang aku malam ini untuk tidak  datang ke hutan ini. Wah, Bapak bisa marah besar andai dia tahu kalau malam ini aku berada di hutan ini.

Ah, benar! Bapak pasti akan menggantikanku minta maaf. Lalu mungkinkah ini yang dimaksudkan Mbah Suro soal hubungannya dengan Bapak. Mungkin ada benarnya kala Bapak bilang pada Ibu waktu acara ruwatan kemarin. Katanya aku tetap tidak boleh menjalani tebusan kedua. Alasannya, Mbah Suro itu tidak selalu benar ucapannya. Ia meyakinkan pada Ibu kalau Mbah Wiro yang lebih kuat daya spiritualnya saja telah jadi korban. Apalagi aku. Karena itu ia tegas menolak.

“Sebaiknya aku pulang.” Telah kutegaskan pada diriku. Dan aku yakin apa yang dikatakan Bapak benar. Aku mulai berpikir logis dengan kematian Mbah Wiro seperti yang disampaikan Bapak pada Ibu. Aku juga tidak mau menjadi korban yang kedua setelah Mbah Wiro.

Aku berbalik arah bawah, menuju ke arah kampung. Sampai tiba di kaki jalan simpang, terdengar suara gemuruh. Aku melihat keadaan di jalur atas. Terlihat burung-burung beterbangan menjauhi hutan. Pepohonan bergoyang kecil. Aku melotot. Suara gemuruh berasal dari hutan! Sekian detik aku terpaku di depan hutan, hujan mulai turun.

“Semua ke gapura! Cepat! Longsor! Longsor!” teriakan para warga yang jaraknya tidak begitu jauh terdengar. Aku takut kebingungan. Bayangan longsor beberapa tahun lalu terlintas di benakku. Longsor bukit atas di jalur atas hutan, ganas menerjang apapun yang ditemui. Longsor persimpangan tanah basah! Tanpa pikir apapun, aku segera berlari kembali ke atas. Bapak masih di sana! pikirku. Aku harus memberitahunya tentang keadaan yang akan menimpa desa ini. Aku terkejut melihat perubahan keadaan hutan yang belum lama kutinggalkan.

Terlihat, di samping pohon tua, Bapak berdiri bersama beberapa orang yang memegang gergaji mesin. Tanpa pikir panjang aku berteriak refleks.

“Pak mau longsor cepat turun!” Tiba-tiba, BRUK! Aku terkejut, Bapak menebasnya! Pohon keramat pertanda makam Kanjeng Giri tumbang. Bersamaan dengan itu Bapak menoleh kepadaku,

“Bukankah kau sudah kuingatkan untuk tidak ke hutan malam ini Danu?!” teriak Bapak dengan wajah marah.

Sejenak aku terdiam. Kutatap sekeliling. Oh, astaga! Pohon-pohon bergelimpangan di tanah basah. Serut kayu di mana-mana. Langit kembali mengeluarkan suara bergelegar. Tanah mulai terasa bergerak-gerak.

“Pak, cepat turun!” pekikku pada Bapak sambil berlari kencang menuruni hutan.

***

Hutan marah! Langit marah! Hujan semakin lebat. Halilintar terus menyambar. Bumi bergoyang! Dari kaki jalan simpang aku bergabung bersama warga yang juga sibuk menyelamatkan diri dan keluarganya menuju penampungan tempat yang aman. Aku melihat Ibu di sana dengan wajah haru.

Situasi benar-benar mencengangkan. Di luar tempat penampungan masih terlihat, seorang Ibu menggendong balita dengan menangis pilu, tak peduli kaki sakit menatap kerikil, bahkan tak peduli hujan dan tanah yang bergoyang. Semua berlari.

Di penampungan kuceritakan pada Ibu jika Bapak masih di atas hutan. Ibu terkejut. Lalu menetes buliran bening dari kelopak matanya.

“Mengapa, Bapakmu masih mengerjakan pekerjaan mencuri kayu hutan itu. Andai dia mau mendengar omongan Ibu agar menghentikan pekerjaan haram itu, mungkin Bapak tidak akan menjadi korban longsor, mungkin juga Mbah Wiro juga tidak akan meninggal dengan cara seperti itu. Mungkin desa kita tidak akan terjadi longsor seperti ini.”

Aku tak mampu menahan emosi yang bergejolak dalam batinku. Aku larut dalam duka Ibu. Tak kuduga ternyata Ibu telah tahu semua. Namun sengaja ia menyimpannya untukku kelak. Agar aku tahu sendiri.

“Mbah Suro yang telah bercerita ini semua, Nak,” terang Ibu sambil berurai air mata. Kami terus berpelukan. Hingga tak terasa terdengar suara Mbah Suro, agar kami bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Gusti Allah.

“Semua telah digariskan, Nu. Tinggal kita bertawakal. Tahu budi dan bisa menahan diri terhadap nafsu yang sengaja membuat kita celaka. Hendaknya kita mawas diri dan selalu eling,” nasihat Mbah Suro.

“Bapakmu sebenarnya baik, hanya ketamakan yang menyebabkan ia nekat seperti itu. Ini pelajaran bagimu, Nu. Jangan kau tiru Bapakmu,” lanjutnya kemudian.

Kami benar-benar merasa berdosa kepada Mbah Suro. Jika tahu ceritanya, soal kebenaran kematian Mbah Wiro yang dibunuh oleh beberapa orang karena menghalangi proses pencurian kayu di hutan. Kata Ibu itu adalah pekerjaan Bapak. Kini benar apa yang dikatakan Mbah Suro. Setelah di hutan aku akan tahu semuanya.

CERPEN : PESAN TERAKHIR

CERPEN : PESAN TERAKHIR

PESAN TERAKHIR

Karya : Haryas Subyantara Wicaksana

 

Aku termenung. Kerapkali membisu. Hari-hariku kian lama, terasa kian sepi.  Seluruh tangkai anganku seakan terkubur keji. Hampa tak berarti. Aku sedih . Ringkih menghadapi cobaan ini yang menghantamku bagai gelombang. Mengombang-ambingkan alur hidupku. Sejak lahir tak lagi kurasakan lembut kasih seorang ibu. Beliau meninggal tepat saat aku dilahirkan. Sejak saat itu bapak berperan sebagai seorang ibu, sekaligus imam dalam keluargaku. Hingga aku duduk bangku SMP. Tapi belum lama kebahagiaan yang kuenyam bersama bapak, beberapa bulan yang lalu, tanpa jelas sebab-musababnya, tiba-tiba bapak menyusul ibu ke alam baka. Sarjono. Nama bapak tertera dalam batu nisannya.

Kala itu, jenazahnya diketemukan di tepi laut Pancer Etan. Kudengar desas-desus para warga di kampung nelayan ini, bapak meninggal karena tenggelam. Kata mereka, bapak menjadi tumbal Ratu Pantai Selatan. Bahkan sesepuh yang sudah lama tinggal di sini pun berkata serupa. Ah,  tetap saja aku belum percaya akan desas-desus mereka. Menurutku, kematian bapak masih menjadi suatu misteri.

Semasa hidupnya, bapak pernah menjadi murid kakekku-guru kerawitan yang mumpuni di suatu perguruan. Hingga beliau diwarisi sanggar kerawitan “Laskar Setro Ketipo”. Bapak meninggal di sekitar sanggarnya yang hampir tak berjarak dengan tepi laut Pancer Etan. Aku ingat beberapa hari sebelum kepergiannya,  bapak sempat memanggilku ke sana. Saat itu beliau terlihat sedang memainkan bonang kesayangannya. Sembari menembangkan gendhing-gendhing wejangan Sunan Bonang yang amat disukainya. Segera aku menghampirinya.

“Salatullah salamullah ’ala thaha rasulillah………’ala yasin habibillah.”

“Wah, terasa syahdu di dada ini, mendengar  tembang itu, Pak.”

Bapak hanya tersenyum. Senyum yang selalu terkenang dalam benakku. Memandangku penuh kasih sayang, dan beliau memainkan bonang itu dengan semakin mantap.

”Le, ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.”

”Nggih Pak, ada apa ?”

”Jika kelak aku sudah tiada, aku kepingin, kamu tetap melestarikan sanggar  kerawitan ini. Aku simpan kuncinya dalam sebuah kotak di laci di kamarku.”

Saat itu aku belum berpikir seberapa jauh tentang pesan bapak. Kupikir itu hanyalah angan-angan bapak di masa depan. Aku tak menyangka bila semua itu adalah bagian dari sebuah firasat. Bapak pergi begitu saja secara tiba-tiba. Secepat ini takdir menggariskan batas hidupnya. Sedangkan aku yang belia belum sanggup menghadapi ujian hidup ini. Sesekali, kulihat foto bapak yang terpampang di dinding kamar. Tepat di depanku. Begitu hening aku memandanginya.

”Ya Allah, aku berharap bapak dan ibu tersenyum tentram di alam sana. Tanpa ada goresan nestapa yang kejam. Tanpa ada dendam yang tertutur suram. Tanpa ada beban yang berat menekan di lubuk kalbunya yang terdalam. Amin !”doaku dalam hati.

Lembayung sore telah beristirahat di pangkuan langit malam. Kuingin berdikari dari rasa sunyi di kamar usang ini. Kuberanikan diri untuk menjalankan pesan bapak. Kutarik pegangan laci itu. Jantungku berdegup kencang. Urat jariku bergetar. Tanganku gemetaran. Laci itu pun terbuka. Terlihat sebuah kotak kecil. Aku yakin benda inilah yang dimaksudkan bapak. Menerka keberadaan kotak yang seolah tak terdefinisi ini. Apakah yang tersimpan di dalamnya? Mungkinkah kotak ini memberi jawaban akan misteri kematian bapak? Lantas, kuambil kotak itu. Kusisipkan di kantongku.

Aku melangkah ke teras. Hatiku kian berkecamuk. Pikiranku kian menggeliat. Aku memandang jauh ke depan. Dadaku masih berdebar. Entahlah. Barangkali karena kotak ini. Ataukah sebuah keyakinan bahwa kotak ini akan memberi kepastian akan penyebab kematian bapak.

”Le, sudah cukup melamunnya.” tiba – tiba terdengar suara yang membangunkan lamunanku.

”Eh, Pak Karmin. Monggo pinarak, Pak.”sahutku.

”Akhir-akhir ini, kamu kok terlihat bersedih terus to,Le. Kenapa?”

Ndak, Pak. Hanya saja, aku belum bisa melepas kepergian bapak.”

”Sudahlah, Le. Tidak baik terus-terusan bersedih begini. Anggap saja aku pengganti bapakmu. Dia memang seorang yang amat baik. Aku tahu karena bapakmu adalah kakak seperguruanku. Dulu, di sini, hampir setiap hari kami ngobrol. Dia sudah kuanggap kakak sendiri.”

”Tetapi hal itu masih terlalu berat bagiku, Pak.”

”Sudahlah, ikhlaskan saja kepergian bapakmu. Mencobalah untuk tabah dan tawakal. Usiamu sangat muda. Masa depanmu masih panjang. Ini waktu bagimu untuk menghibur diri. Bagaimana jika kau ikut bersamaku ke luar sana?”

”Memangnya kemana Pak malam-malam begini ?”

”Kita kunjungi sanggar bapakmu.Mungkin rasa sedihmu akan sedikit terobati di sana.”

“Pak,bukankah tidak baik untuk keluar malam di daerah sini? Apalagi malam ini adalah Selasa Kliwon. Malam yang amat sakral. Sebagaimana yang sudah diyakini masyarakat setempat, bahwa Ratu Pantai Selatan sedang mencari tumbal.”jelasku pada Pak Karmín.

” Kamu tenang saja. Aku sudah punya penangkal kain kafan di sakuku.”bisiknya lirih seolah menyembunyikan sesuatu.

”Apa? Penangkal? Jadi Pak Karmin yakin mampu melawan Ratu Pantai Selatan? Tapi kenapa bapak bisa menjadi tumbal seperti yang didesas-desuskan warga. Padahal, bapak adalah kakak seperguruan Pak Karmin. Kenapa Pak Karmin? Kenapa?”

Gurat wajah Pak Karmin mulai memperlihatkan mimik yang ganjil.

”Sudahlah, Le. Sudah. Percayalah saja denganku. Ayo kita ke sanggar.”ajak Pak Karmin setengah memaksaku.

Aku mulai meresapi gejolak sanubari yang meretas bebas dan mekar berhamburan di persimpangan logika. Mengingat kesakralan malam ini, aku tak mungkin pergi ke sanggar ! Apalagi keberadaan kuncinya saja masih belum jelas. Tapi mengapa Pak Karmin begitu ingin mengajakku ke sana? Ada apa sebenarnya? Pikiranku kembali terpagut pada kotak pemberian bapak. Mungkin benda ini yang akan menyelamatkanku dari marabahaya laut Pancer Etan.  Aku menuruti ajakan Pak Karmin. Lagipula, aku juga ingin mengetahui sesuatu yang sebetulnya terjadi.

Akhirnya, aku beranjak keluar dari rumahku yang kecil terpencil. Lingkunganku dilingkupi rerimbunan pohon raksasa yang berdiri gagah. Semuanya terpagari oleh dinding bukit dan sungai yang bermuara langsung dengan bibir samudra. Sedangkan permukiman warga terletak jauh di ujung sana. Hanya ada segelintir tetangga di samping rumahku.

Banyak orang berkisah bahwa tempat tinggalku sangat keramat. Sering kali aku melihat ambulan melintas di depan rumahku. Mereka berlalu lalang membawa mayat yang dianggap korban Ratu Pantai Selatan. Pun Pak Karmin juga pernah bercerita, Pancer Etan adalah tempat bersemayamnya para jin dari kerajaan Ratu Pantai Selatan. Suatu mitos yang lekat dan tumbuh di tempat tinggalku.

Kulihat dari jalan setapak ini, di tepi laut itu, para nelayan sedang pergi nglarung. Menurut kepercayaan warga pesisir pantai ini, mereka harus menghanyutkan sesajen ke laut sebelum berlayar. Tak lain demi keselamatan mereka. Terlebih malam ini adalah Selasa Kliwon.    Aku pun bergumam, apakah kotak ini amat berkaitan erat dengan hal itu. Setahuku, bapak tidak pernah berurusan dengan hal-hal seperti itu. Bapakku hanyalah seorang menantu guru kerawitan yang diwarisi beberapa buah gamelan.

***

Sejenak, aku menghela napas. Derap pijakku telah menginjak beranda sanggar kerawitan Laskar Setro Ketipo.

”Pak, jika irama gamelan itu sudah terdengar lagi, aku sangat ingin menjadi penabuh bonang seperti bapak. Sebab iramanya sangat apik”

” Kamu itu mirip bapakmu, Le. Selalu ingin tahu dan selalu ingin bisa. Asal kamu tahu saja, Le. Irama bonang itu ndak hanya kempyongan thok. Nanti pasti ada genjotan. Setelah itu, berkembang menjadi sekaran. Contohnya begini.

Pi..lu..pi..lu..nem..ji..ro..ji..nem..ma..lu..pi..ji..ro..lu ” ujar Pak Karmin bersemangat.

Bila Pak Karmin melantunkan irama bonang itu, aku termangu sendu. Aku teringat akan wejangan Sunan Bonang yang bapak ajarkan padaku. Bapak berusaha melekatkan memoriku pada perjuangan Sunan Bonang saat menyiarkan syariat Islam melalui syair tetembangan Jawa dalam kesenian gamelan ini. Sanubariku gundah gulana kembali. Selalu dan selalu teringat bapak. Bulir – bulir ingatan itu kian berkelindan membayangiku.

Aku dan Pak Karmin masih terus menyusuri sanggar bapak yang beberapa bulan ini telah terbengkalai. Menjatuhkan tiap derap langkahku dalam remang sinar bulan. Pak Karmin tertinggal satu langkah di belakangku.

Nuansa mistis mulai menelikung batinku. Indra pendengaranku seperti terpaku pada suara-suara ghaib. Seakan bunyi bonang dan wejangan itu terus mencecar dari kotak pemberian bapak. Mataku terpejam. Rasa penasaranku berdentum. Memberikanku pertanda agar lekas mengetahui isinya. Perlahan dengan tangan gemetar, kucoba membukanya melalui celah dari salah satu sisi. Aku tak mau berpaling dari isi kotak itu. Benda yang singgah di dalamnya, belum pernah kujumpa. Asing…asing sekali! Bertengger di dalamnya, kunci dan secarik kertas bertuliskan sesuatu. Pesan tersurat yang dituliskan secara tersirat.

”Assalamualaikum Darma, anakku. Aku menyertakan kunci sanggar di dalam kotak ini. Jagalah dengan hati – hati. Peliharalah sanggar itu baik-baik.  Sebaiknya kau tahu. Dulu, Pak Karmin adalah adik seperguruanku. Dia selalu menginginkan kotak pemberian guruku ini yang dianggapnya bertuah. Padahal tidak, kotak ini hanyalah berisi beberapa lafal doa dan wejangan di balik kertas ini yang membuat seseorang bisa menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta. Wassalamualaikum !”

Malam kian terasa mencekam. Hitam suram.  Nyanyian alam bergema muram. Seram menghujam tajam. Saat aku mencermati pesan ini, tiba-tiba saja, aku merasakan ada seseorang yang mengendap-endap di belakangku. Seketika wajahku pucat pasi. Hawa dingin kian menyeruak, menghentak ragaku. Suasana yang tak wajar ini terus mengglayuti pikiranku. Langkahku terhenti. Aku melirik ke belakang. Aku terhenyak !

”Hyaat….!  Mampus kau !”

”Argh..Pak…Kar…min….ada…apa…ini…kau..bisa..membunuh….ku ! ”

”Kalau benar, memangnya kenapa ! Sedari dulu, kau seharusnya sudah kubunuh. Layaknya aku menghabisi nyawa Sarjono, keparat itu!”

Mataku terbelalak. Perasaanku laksana tercambuk api neraka. Aku berusaha menahan napas, menjauhkan jerat kain kafannya dari leherku.

”Jadi, kau yang telah membunuh bapakku ?”

”Hahaha..! Siapa lagi kalau bukan aku, ha?”

“Mengapa Pak ? Mengapa kau lakukan hal ini pada bapak ?”tanyaku berontak.

“Asal kau tahu, bapakmu memang kakak seperguruanku. Tapi itu dulu ! Sebelum kakekmu-guruku berlaku tak adil. Dia lebih memercayakan kotak bertuah itu kepada bapakmu. Lalu dia lebih memilih bapakmu untuk dinikahkan dengan ibumu, padahal aku juga mencintainya hingga sekarang. Setelah itu ia wariskan seluruh perangkat gamelannya kepada bapakmu. Aku benci ketidakadilan ini. Kini, kau akan menjadi pewaris tunggal kekayaan bapakmu. Beginikah kehidupan yang adil bagiku ? Sekarang, serahkan kotak itu beserta seluruh isinya padaku! Agar aku bisa menjualnya dan jadi kaya raya. Cepat serahkan!”

“Tidak akan! Sampai kapanpun aku takkan menyerahkannya!”

“Jika tidak, nasibmu akan sama dengan nasib bapakmu. Mati di tanganku malam ini juga !”

Jerat kain kafan itu semakin melilit leherku, membelit nadiku. Kusadari aku nyaris mati !

”Baiklah, kau boleh ambil semua yang kau mau. Tapi dengan satu syarat, kau harus melepaskanku.dan membiarkan aku hidup!”

“Kali ini kau akan kulepaskan. Lagipula aku tidak membutuhkanmu lagi. Sudah! Pergi dari sini!”ujarnya dengan merebut kotak pemberian bapak.

Aku terhuyung meninggalkan sanggar. Serasa berat kutinggalkan manusia picik itu. Aku benar-benar naik pitam tapi tubuhku tak berdaya. Kunci sanggar, wejangan Sunan Bonang dan surat hak milik Laskar Setro Ketipo kini erat pada genggamannya. Merenggut nyawa bapak dengan kejam! Begitulah Pak Karmin menyembunyikan tabiat busuknya di balik kekuatan mitos Ratu Pantai Selatan. Menyalahgunakannya demi kekayaan semata.

Namun belum seberapa jauh kakiku melangkah, kudengar teriakan suara seseorang. Aku membalikkan badan. Mendekati suara itu diam-diam. Ternyata Pak Karmin! Kulihat dia menutup telinganya rapat-rapat. Tubuhnya berkelindan. Sekonyong-konyong ia terjerembab di beranda sanggar. Jidatnya membentur lantai. Berguling-guling seraya berteriak lengking.

”Sarjono, Sarjono! Darma, Darma! Aku minta maaf ! Aku tak berhak atas  wasiat sanggar ini ! Aku mohon ampun, Guru! Ampun Guru, ampun! ”

Tiba-tiba, ia menghampiriku dengan langkah tergesa-gesa.

”Ampun, Le! Aku memang tidak berhak akan semua warisan dari bapakmu. Aku benar-benar tak tahan dengan semua ini. Aku memang salah! Aku minta maaf, Le. Aku menyesal telah membunuh bapakmu. Kukembalikan seluruh isi kotak ini. Aku berjanji tak akan mengganggumu lagi. Aku tidak mengharuskan kau memaafkanku. Aku hanya ingin kau paham tentang nasibku. Terserah padamu, ingin menghukumku dengan cara apapun.” ungkapnya menangis tersedu-sedu sembari bersimpuh sujud di telapak kakiku.

CERPEN : LENTERA KELAM TIGA PULUH FEBRUARI

CERPEN : LENTERA KELAM TIGA PULUH FEBRUARI

LENTERA KELAM TIGA PULUH FEBRUARI

Siang menjelang tak ubahnya gurun gersang dipanggang pengapian.

Kudapati benda ini menggelepar. Tubuhnya tergolek di bahu jalan. Sisinya persegi panjang kecil merentang, meremang bersama keramik kusam. Bagian dalamnya menganga serupa mulut bayi buaya. Hatiku meraba-raba. Berkeping-keping receh dan lembar rupiah ditelan bilik-bilik mungilnya. Mataku menatap nanar, menyusuri jalan pikiran. Tanganku masih membelai-belai benda ini.

Aku mematung. Pinggangku melipat, tanganku menggamitnya. Muka kelas 9A berbalik menatapku, aku ragu. Bapak dan ibu guru telah menjauhkan langkahnya. Sedangkan kawanku sudah bergegas pulang. Tinggal beberapa penjaga dan karyawan berlalu perlahan. Bagaimana dengan benda ini, haruskah kutelantarkan? Tapi apabila tangan lain mengambilnya, aku merasa amat berdosa.

“Ambil uangnya! Buang saja dompetnya!”bentak sisi hitamku.

“Jangan! Simpan benda itu di tasmu! Barangkali esok bisa kau kembalikan!”

“Halah, cepat, ambil saja uangnya, mumpung tidak ada orang yang melihatmu!”

“Ingat! Tuhan senantiasa memperhatikan gerak-gerikmu!”

Dua sisi hatiku berbantah-bantahan. Sisi hitam selalu mengandalkan untung menggiurkan. Tawarannya bagai surga berlipat ganda. Sedangkan sisi putih senantiasa menawarkan pilihan sulit. Amat rumit.

Aku tekapar di dua arah. Sukar bagiku bersenang hati. Tak mudah pula bersikap mawas diri. Lantas bagaimana? Hatiku terus menimbang-nimbang. Tak kunjung kutemui kepastian. Khawatir menghampiriku. Aku bagai daun kecil, nyaris hanyut di mulut air terjun. Pikiranku melayang-layang. Tanganku kian gemeletar.

Kini kutahu apa yang harus kulakukan. Kupegang benda itu lalu kuselipkan di kantongku. Akan tetapi, hatiku masih menimbang-nimbang. Aku melangkah pelan.

“Hasan, benda itu milik siapa?”tanya nuraniku dengan nada curiga.

“Kapan kau mengembalikannya?”ia bertanya kembali, tegas.

Belum dapat kujawab, hanya langkahku mengendap-endap menuju gerbang.

“Hasan, bukankah besok kau harus melunasi biaya administrasi ujian?”ia bertanya tak henti-hentinya, nafasku kian jengah membuka gerbang yang hampir tertutup.

Tempo jalanku kupercepat. Pikiranku makin kalut.

“Bagaimana kalau kakek belum punya uang? Bagaimana besok?”

Anganku berkabut. Kota siang itu adalah desing mesin dan laju kesibukan belaka. Beberapa ruas trotoar harus kulewati, sisi jalan raya kujajaki, melompati gang demi gang dan menyusuri jembatan, menyebrangi sungai. Tak seperti desaku. Meski asing dari keramaian, hatiku tak pernah sendiri. Ada kakek dan Mas Herman yang senantiasa menemaniku.

Jalan setapak di sepanjang desa mengingatkanku pada masa kecil. Setelah beberapa tahun lalu, bapak dan ibu merantau ke negeri orang, nafasku dititipkan pada kakek yang baru saja kehilangan nenek. Sebenarnya hatiku tak kuasa menahan rindu. Bapak dan ibu hanya pulang dua tahun sekali.

“Malulah aku! Mengapa baru kali ini terpikirkan olehku? Mengapa aku seperti benalu? Tak ada bedanya antara aku dengan orang dungu. Mengapa aku selalu membebani kakek di hari tuanya? Semestinya kakek menikmati waktunya dengan tenang, bukan menanggung beban. Kasihan, kakek.” hati kecilku berbicara.

Pintu rumah separo menganga. Sepi. Sepertinya Mas belum pulang sekolah. Sepeda onta satu-satunya yang dimiliki kakek dikendarainya. Sekolahnya empat kilo dari sini, sedangkan aku harus berjalan kaki pulang pergi.  Nafasku terengah, aku bersandar sebentar. Di dalam kamar berdinding anyam. Masih berdentang di benakku tentang benda yang singgah di dalam kantong ini. Namun nyaliku tak kunjung memberanikan diri. Akankah nasibku bertaruh mengembalikannya? Tetapi hari esok seperti pedati berjarum duri. Aku tak tega meminta uang kakek. Penghasilan kakek hanya cukup buat makan. Selebihnya uang kiriman dari bapak dan ibu. Itu pun hanya tiga atau bahkan lima bulan sekali.

Dua jam serasa rancu, aku masih membatu. Hanya sepoi angin mengelus punggung pintu. Daun-daun di dahan pepohonan kian berkerisik, nyaliku tercabik. Kuambil benda itu dari kantong. Kubalik-balikkan benda itu, begitu tebal. Tertulis “Harley Davidson” di satu sisinya. Lalu kutimang-timang pelan. Aku mulai menelisik biliknya satu per satu.

Bilik terbesar, berlapis-lapis uang seratus ribuan, kuhitung 20 lembar jumlahnya. Uang itu amat rapi, halus, mulus, tak satu pun kusut dan ternoda. Uang yang benar-benar baru. Betapa kaya pemiliknya, pikirku. Bilik terkecil, foto seorang ibu dan seorang anak, ukuran 4×6 cm. Bilik terakhir, kutemukan sebuah KTP dan buku tabungan. Jantungku berdegup kencang. Kubaca dengan lisan. Tanganku kian gemeletar. Kudekatkan ke mata. Tertera satu nama : Pak Warto Suromenggolo. Nafasku tercekat! Sama sekali tak habis kupikir. Seorang guru yang menghukumku pagi tadi. Sebab tak kubawa tugas rumah darinya, karena basah dilucumkan hujan semalam. Masih tersirat kesal di benakku. Begitu jelas membekas.

Tiba-tiba pintu berderit, sebuah langkah berderap, sepotong salam terucap. Kecemasan mengahantamku. Mas Herman mendekat ke arahku. Benda itu kugenggam kian erat. Tatapannya tajam mendarat di tanganku.

“Hasan, dompet itu milik siapa?”tanyanya sekeras kilat menyambar.

“Anu Mas….anu…..ini punya…”

“Hasan! Kau mencuri?”

“Tidak, Mas! Aku tak mencurinya dari siapa-siapa! Kutemukan dompet ini jatuh di depan kelas. Ini milik guruku. Pak Warto Suromenggolo.”

“Coba kulihat!”ujarnya sembari merenggut benda itu dariku.

“Banyak sekali, Hasan! Dua juta?”

“Iya, Mas. Apa yang mesti kuperbuat dengan benda itu?”

“Bukankah lusa kau harus melunasi biaya administrasi ujian? Sedangkan aku juga belum membayar pembelian buku dektat tempo hari.”

Aku tercengang. Keringat dingin menyusuri logika, terjun ke hati, berhenti di jantung.  Patutkah hal itu kuperbuat? Decitan rem becak di depan pintu menghentak suasana. Pertanda kakek telah pulang.

“Apa kita akan selalu minta uang kepada kakek, San?”

“Tapi Mas, ini bukan milik kita! Sama sekali kita tak berhak mengambilnya.”

“Bagaimana lagi, San? Tinggal benda itu harapan kita satu-satunya.”

“Tidak, Mas! Tentu ada cara lain untuk melunasi biaya ujianku dan bukumu!”

“Apa? Cara lain apa, Hasan? Kita tak punya apa-apa!”

Aku terbungkam.

“Lihatlah kakek kita, Hasan! Kakek telah mangkal sejak Shubuh tadi, sedangkan kita tak tahu beliau sudah makan atau belum. Kau tega melihat kakek  menarik becak lebih jauh dan lebih lama lagi? Kau tega? Apa kau tidak kasihan?”

“Kakek pasti mengerti, Mas. Beliau akan bertindak sebijak mungkin.”

“Tidak, Hasan. Kakek tak akan bertindak semudah itu. Kakek tak akan seenaknya meminjam uang ke tetangga. Kau tahu sendiri, kan? Tiap uang kiriman bapak ibu habis, pastilah kakek bekerja habis-habisan semalaman.”

Aku termenung. Ibaku kian merajam hati.

“Selama ini kita selalu menyusahkan hari tua kakek. Bahkan sampai kini kita belum bisa mewujudkan impian kecil kakek. Sekedar sepotong kain batik itulah keinginan sederhana kakek yang selalu kubenamkan. Kau ingat, kan? Kemarin kita berjanji untuk membelikannya. Ini 29 Februari, Mas. Padahal besok, 1 Maret, usia kakek sudah beranjak 70 tahun.”

“Sudahlah, Hasan! Sementara kita gunakan dulu uang di dompet itu.”

Segera kutinggalkan Mas Herman. Ia nampak kesal. Kekhawatiran itu berkelindan, menghanyutkan pikiran. Tetap saja aku tak dapat membiarkannya terjadi. Bagaimanapun juga ini milik Pak Warto. Tapi ia telah menghukumku. Bagaimana jika ia lebih membenciku dan mempermalukanku lagi? Bagaimana jika aku dikiranya mencuri? Angin sepoi bertiup amboi. Kuputuskan untuk berebah sejenak. Di lincak belakang rumah. Teduh sore membekukan terik siang.

Mataku memejam.

***

Kudatangi pagi yang begitu berbeda. Seperti benar-benar hari baru menjelang. Di belakang, terpancang barisan angka dan bulan. Aku terperangah! Ke angka bawah, paling penjuru, pandanganku memaku : 30 Februari. Benda itu masih erat kugenggam.

Di bawah, tanpa landasan, tanpa rumah. Tiada celoteh burung maupun koceh ayam. Tak terlihat lagi semak daun pepohonan. Atau bahkan orang-orang. Hanya aku. Sendiri. Melayang-layang.

Di atas, kulihat biru dan awan mengambang. Bagai tanpa jarak.

Di depan, aku termangu antara dua jalan. Bercabang. Membentang. Panjang. Hatiku menimbang-nimbang. Bimbang. Menentukan jalan pilihan.

Perlahan, kulalui jalan pertama. Berlandas kaca, begitu lurus dan lebar, amat lebar, bagaikan tiada yang lebih lebar lagi. Aku girang. Pastilah itu jalan kedamaian. Di bawahnya menjulur permata aneka warna. Sesaat kurasakan galau meranjau hati. Mataku membeliak! Tiba-tiba kutemui sosok berjubah hitam. Peluh dinginku meluncur deras. Perawakannya gempal. Kepala lonjong menyentuh langit awan. Nyaliku menciut. Terbuka celah jubah itu, potongan kerangka menjejali. Aku tak tahan membau! Bau anyir mengoar dari sela gigi tajam itu. Tubuhku kian menggeletar. Matanya tenggelam, hanya dua lingkar kelam. Jeritku bisu! Aku mengerang nyaring!

Pelarianku berpaling pada jalan kedua. Hanya gersang bebatuan. Aku terpelontang-pelanting kian kemari. Menelikungi naluri. Meski terjal menghunus kaki, jelasnya aku tak peduli. Sulit sekali jalan itu kutempuh, berkali-kali tersungkur jatuh, aku tetap bangkit kembali. Langkahku tergencat! Sehadapanku laki-laki tambun berdiri. Di punggungnya, membentang dua sayap berlian. Ia tersenyum lalu berkata tiba-tiba.

“Nak, jangan kau terlalu tergiur dengan jalan lurus nan berkilau. Dengarkan hati kecilmu. Bawalah benda itu ke arah angin nurani tertuju. Biarkan dirimu menerjali jalan berliku yang lebih berarti, lebih sejati.”

“Terima kasih atas jawabmu yang amat kunanti.”balasku.

Di hadapanku berpendar cahaya terang, amat terang, bagaikan tiada yang melebihi terangnya. Kutembus cahaya itu, dan berlalu.

***

Mataku mengerjap, aku tergagap, tubuhku terbanting ke tanah. Adzan Maghrib membahana. Tak kuhiraukan Mas Herman yang berdiri di depan pintu. Kuambil sepeda onta kakek, ketika beliau masih di surau. Nafasku menggebu. Dua roda kupacu. Kini jelas arahku tertuju. Jalan Panjaitan nomor 7. Aku kian tak peduli akan dicaci maki atau dituduh mencuri.

***

BRAK !!!

Jantungku terbang, membelah petang! Sepedaku menderak tubuh trembesi. Mataku nanar! Dua bendera kuning berkibar di penjuru pagar. Aku berjalan pelan, menyibak kerumunan orang yang berlalu lalang.

“Siapa yang meninggal dunia, Dik?”anak perempuan berambut gelombang dengan air mata berlinang itu kuhampiri.

“Ayahku! Ayahku dibunuh uang!”aku terperangah, tatapannya merana, teriaknya meronta-ronta.

“Siapa ayahmu?” ia tak kunjung menjawab, justru terus meracau.

“Semua ini gara-gara uang, uang dan uang!”

“Bagaimana bisa?”

“Ayah sedang sakit parah, tapi balai perobatan itu enggan memberikan pertolongan, sebab ayah tak bisa menebus perawatan.”katanya terbata-bata.

Tiba-tiba sirine menguing, mesin ambulan mendesing. Di siraman cahaya lampu-lampu mercuri, diturunkan satu tubuh berbalut kain mori.

“Pak….Pak…War….to!!!!!”hatiku menjerit.

Kugampar jidatku sendiri, berharap ini 30 Februari. Tapi bukan!

“Ini titipan dari ayahmu, Dik.”kueratkan benda itu dalam genggam tangannya. Aku berbalik, berujar tanpa suara.

“Aku minta maaf, Dik. Aku sangat minta maaf.”

Malam ini aku tak perlu mengasihani diri sendiri lagi. Meski tak dapat kupikirkan biaya ujian esok hari. Atau keinginan sederhana kakek, di usia 70 tahun, tentang sepotong kain batik, yang belum dapat kupenuhi.

Aku berlari, berlari dan terus berlari. Kudengar teriakan anak itu.

“Kau, pembunuh!!!!!”

Aku terhuyung menitikkan air mata antara temaram lampu malam…..

PUISI : CATATAN GERILYA MUDA

PUISI : CATATAN GERILYA MUDA

CATATAN GERILYA MUDA

Karya : Venansya Maulina Praba

 

Asara-aksara yang menjejak di tubuhku

Melangkah dari kakimu menyanjung awan

Mencatat langkah-langkah pengorbanan

memakmurkan bangsa di masa depan

 

Subur cintamu laksana rumput-rumput

meranggas di tanah lapang

Menghijaukan mimpi-mimpi rumpang

yang tertulis di lembar putihku pada kisah malam

 

Wajahmu adalah pengorbanan tubuhku

mencatat goresan ilmu dari luluh hatimu

Mengukir prasasti oleh langkah-langkahmu

mematri jati diri,

mengobarkan bara gelora generasi penerus bangsa

dari nyala kembang merah di bibirmu

 

Aku tercenung menajamkan goresan gerilya

tanpa pedang dan parang dalam aksara kata

Memberangas kedunguan

dengan apa yang tertulis di putih wajahku

 

FLS2N 2014

PUISI : AKU TELAH MATI?

PUISI : AKU TELAH MATI?

AKU TELAH MATI?

Oleh : Ni’mah Mustika Ningrum

 

Aku adalah belati yang duduk diantara jerami

Rasanya pedih namun apa daya aku ini

Terlanjur aku duduk, dan tak mampu lagi berdiri

Binasalah aku disini, sampai tiba umurku nanti

Sampai kumandang azan terdengar dalam liang untuk terakhir kali

Ditaburi kembang kembang pagi, kalian bacakan aku ayat ayat suci

Bacaan Yasiin mengiringiku tujuh hari, bahkan sampai seribu hari

Sampai batin dan ragaku hanyalah banyangan mimpi

Jangan ada air mengalir di pipi

Tak perlu kepergianku ditangisi, tak perlu disesali

Aku saja yang mati, ikhlas saja dalam hati

Walau awalnya sedikit tak mempercayai “Aku telah mati?”

PUISI : PEMETIK AIR MATA

PUISI : PEMETIK AIR MATA

Pemetik Air Mata

Karya : Arlita Putri

 

Perdu awan dinding langit

Menyamarkan kerling menyilaukan dari paras laut

Sulur bibir pesisir mulai rekah

Beringsut terkikis terlulur dekapan ombak

Celah rekahan bercerita

Tentang laut sumber penghidupan lelaki renta

 

Segara berair mata, bergumpal menyisih di pinggiran

Lelaki tua itu menyeka gumpalan air mata rumah garam

Ranggas membuat gurat wajahnya mengeras

Seakan-akan harapan terus menguap tak berbekas

 

Peluhnya semakin menjadi

Kala matahari kian menggantang di tengah siang

Ia tak jerah bertahan

Sebab ia batuan karang tahan hantam

Hatinya seluas permadani pasir putih tergelar

Semangatnya adalah ombak yang saling kejar

 

Dapatkah aku menjadi penawar?

Disaat lelahmu terus menjalar dan mengakar

CERPEN : GUGURNYA SEHELAI DAUN

CERPEN : GUGURNYA SEHELAI DAUN

GUGURNYA SEHELAI DAUN

Karya : Anjar Ryan Harimurti

            Sore hari beringsut mulai menepi. Awan pekat di atap langit terlihat berkelindan. Serupa bayang siluet dalam panggung putih langit. Cuaca terasa ritmis. Kian mencekam, kala rintik hujan bersama hembus angin membasuh kering tanah. Menebarkan debu-debu di atas daun pepohonan. Sungguh, bau khas tanah basah mulai menusuk hidung. Aroma daun kamboja  di pinggiran makam Kucur, ikut menebar cengang. Bagai terror tanpa bentuk. Begitulah yang tergambar di batinku suasana sore di tanah lapang dekat makam. Persis situasi kota mati. Bak kota tak berpenghuni yang menyisahkan misteri.

Di tanah lapang itu kami bermain bola. Suara teriakan di antara kami untuk berbagi bola menjadi musik pengiring yang terdengar lengking dan tajam. Mungkin juga suara lengkingan itu bisa terdengar sampai Pantai Teleng Ria yang hanya berjarak kurang lebih 200 meter. Ya, mirip suara pengeras toa di surau kampung kami, kala mendengungkan berita kematian salah seorang warga. Belum lagi timpalan derap kaki yang melesat cepat kala berebut bola. Menjadikan suasana semakin miris.

Waktu sudah mendekati adzan magrib. Tanpa ragu, kala bola lekat di kakiku satu-satunya yang ada di benakku adalah menggiring bola, lalu menendangnya ke gawang Farid. Bagai macan kelaparan, sambil berteriak keras kutendang bola sekencang mungkin. Tiba-tiba dari pinggir lapangan, terdengar suara adikku menjerit hebat, ”Aaawaaas… pohon kamboja Mas!” Jerit lengking yang mencekam itu, benar-benar menghentikan seluruh ambisi dan gerak tubuh kami. Ya, bagai jerit orang kesakitan tingkat tinggi di ruang sunyi. Sungguh menakutkan.

Kami diam terpaku. Kaki kami terasa berat untuk melangkah. Ya, kami bagai berdiri di atas tanah pasir berhisap. Kami, hanya bias menatap arah bola. Raut muka cemas tiba-tiba mendatangi kami. Bola, membentur bagian atas pohon kamboja. Tepat seperti kekhawatiran adikku. Jantungku terasa dihujam godam.Terasa remuk dan hancur berkeping-keping, kala aku melihat beberapa ranting pohon bergetar. Dedaunan tampak berkibar kala angin berhembus kencang. Datang begitu tiba-tiba. Layaknya tamu tak diundang yang menakutkan. Seperti yang sudah diyakini di kawasan Kucur ini, sehelai daun kamboja terusik, berarti satu nyawa warga Kucur akan kabur!

Arif langsung  sigap. Dari tengah lapangan, ia langsung memberikan isyarat dengan tepukan tangannya. Sorot mata dan bahasa tubuhnya, memaksa kami untuk berkumpul menjadi satu. Langkah kaki terasa gontai. Seperti melayang. Angan seperti berlari mendekati peristiwa yang menakutkan. Peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Kisah dari orang-orang yang menjadi tumbal atas gugurnya sehelai demi sehelai daun pohon kamboja yang terusik.

Kami semua berkumpul di pinggir lapangan Kucur. Tanah lapang yang tidak begitu luas. Tapi cukup untuk bermain bola. Di tanah ini, seluruh warga meyakini jika tanah kucur dan kamboja tua yang tumbuh di tengah-tengah makam, merupakan ancaman yang menakutkan.

Kisah itulah yang kini menghantui kami. Wajah kami terpampang ngeri. Sorot mata kami saling melirik. Mulut kami seolah terbungkam. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Dewi adikku, seperti melihat gambar kematian padaku. Ia berlari menghampiriku.Tangannya terus mendekap tubuhku. Aku pun hanya bisa menunggu keseruan yang akan  terjadi.

“Kita harus segera pulang, masih ada waktu untuk pukul kentongan. Jangan sampai kedahuluan mahgrib!” Seru Arif, sambil menatap tajam padaku. Seolah matanya mengisyaratkan tentang ancaman tumbal kamboja Kucur. Ya, Arif memang yang bisa dituakan di antara kami. Hobinya bermain bola membuat dia tak peduli harus berteman dengan siapa saja. Hebatnya, bila ada persoalan seperti ini, hanya dia yang mampu mengawali sikap. Jika ditimbang, usia Arif setara dengan Mas Ganang. Kakakku yang sudah meninggal dunia 5 tahun yang lalu. Konon karena jadi tumbal kamboja kucur. Dan kini aku seperti dihadapkan untuk menunggu giliran itu. Mungkin juga teman-temanku.

“ Lalu bolanya?!” Tanya Farid pada Arif dengan nada protes.

“Terserah kamu, pilih bola atau jadi tumbal kamboja.” Tegas Arif. Berikutnya, dia mengingatkan kami tentang keganasan pohon kamboja jika sudah terusik batang dan daunya. Bahkan tanpa basa-basi ia cuplik desas-desus sebab dari kematian Ganang.

“Kau mau jadi tumbal berikutnya!” ulang Arif pada Farid. Kali ini dengan suara membisik yang menakutkan.Tepat di dekat wajah Farid yang tampak gamang. Kami semua diam. Terpaku dengan nada horor yang diucapkan Arif. Dewi Tampak gelisah. Kedua tangannya ia pakai untuk menutupi telinganya. Entah, ketakutan seperti apa yang ada dibenaknya. Matanya terpejam. Sekejap air matanya meleleh. Persis air mata duka. Dari isak tangisnya, sepertinya ia tak mau lagi berdukakarena aksi kamboja.

“Semua ini kan gara-gara Wawan?” tuduh Farid.

“Sudahlah! Lupakan bola. Ingat tumbal kamboja. Sebentar lagi  maghrib. Kita harus segera beritahukan warga dan tetua desa untuk pukul kentongan. Upacara sesaji harus digelar di Kucur ini.” Pungkas Arif, yang mulai tidak peduli lagi pada protes farid.

Seperti anak ayam tak ingin kehilangan induknya. Kami pun akhirnya mengekor pada keputusan Arif. Aku melihat kekecewaan Farid yang terpendam. Pandangannya sinis padaku. Angin sore Kucur pun terasa mulai beraksi. Bulu kudukku berdiri. Tubuhku seperti hutan kabut. Menggigil dingin.

Aku memaksa untuk terus melangkah. Belum jauh, dari arah belakang terdengar suara berat dan parau memanggil kami. “Pulanglah kalian semua. Jangan ribut kalau tidak ingin ada nyawa yang tercabut!” Kata lelaki tua sambil melemparkan bola pada Farid.

“Mbah Suro?!” ucap batin kami. Serentak pula tanpa kecuali, termasuk Arif yang paling dianggap pemberani, harus menundukkan kepala. Tak ada yang berani bertatap pandang dengan juru kunci makam Kucur itu. Hanya Dewi yang sempat menatap. Dari sorot matanya, ia seperti menyimpan benci. Dengan cekatan kututupkan telapak tanganku ke mukanya.Wajah kami seperti berubah warna. Pucat pasi. Bahkan tubuhku kian terasa berat kala tangan Mbah Suro memegang pundakku. Kakiku  terasa ambles ke dalam tanah. Bergetar berat tanpa mampu terkontrol. Bahkan kala Mbah Suro balik langkah dan hampir menjauh, tubuhku masih belum mampu kembali stabil. Begitu juga Farid, terlihat lebih parah. Tubuhnya lunglai di tanah. Arif  yang paling cepat tersadar. Ia langsung berlari dan menjalankan onthelnya dengan kencang. Kami pun segera mengikuti jejaknya.

“Mas ayo Mas! Lebih cepat lagi Mas! Dewi takut.” Rajuk Dewi terus menerus.

“Sabar Dik! Jangan bikin Mas tambah gugup!” jawabku dengan nada tinggi. Ia mulai diam. Tetapi tidak berapa lama terdengar lirih suara tangisnya. Seumur-umur baru kali ini aku berbicara tinggi pada adikku. Aku jadi menyesal. Merasa iba dan kasihan pada adikku. Aku jadi ingat, kala ibu bercerita kondisi Dewi yang berhari-hari tidak sadar, saat mendengar Mas Ganang meninggal dunia sebab menjadi tumbal pohon kamboja. Menurut cerita ibu, Dewi yang paling merasa kehilangan dengan kematian Mas Ganang.

*****

Sesampai di rumah, ibu terlihat sendiri di beranda. Lalu menghampiri aku dan Dewi di garasi. Wajahnya kusam. Pandangannya layu. Tubuhnya terlihat lemas. Seperti sedang mengalami duka hebat. Suara hewan-hewan menjelang gelap dari kebun di belakang rumah kian menambah rasa sepi di wajah ibu. Aku tak melihat bapak di sandingnya.

“Wan, segera bersihkan tubuhmu. Dan segera sholat mahgrib.Tadi bapakmu dan beberapa warga ke mushola. Karena Pak Kasun membunyikan kentongan khas bencana Kucur.” Aku hanya bia mengangguk. Pikiranku jadi campur aduk.

Seketika itu, ibu langsung menggandeng Dewi ke dalam rumah dan memeluknya. Di kursi ruang tamu Dewi menumpahkan air matanya di pangkuan ibu. Adegan tangis menambah suasana cemas. Tangis itu menyatu pada malam yang senyap. Dengan tersedu-sedu Dewi mengatakan pada ibu, kalau ia tak ingin lagi ada yang jadi tumbal di keluarga ini. Ibu terus berusaha menenagkan tangis Dewi, mesti dengan suara yang terbata-bata. Aku benar-benar tak tahan melihat adegan haru itu.

Di kamar mandi pikiranku melayang. Membayang pada kisah lima tahun yang lalu. Tubuhku mulai menggigil.  Di kamar aku mulai tidak bisa menyembunyikan rasa takutku. Kematian seolah sudah teralamat pada nasib hidupku. Keringat dingin mulai mengalir. Sesegera kugelar sajadah untuk sholat maghrib. Ah, pikiranku kian kalut. Pada rakaat akhir, terdengar suara bapak di ruang tamu. Konsentrasiku terpecah.

Benar dugaanku. Di ruang tamu sudah dipenuhi para tetua desa, serta orang-orang yang dianggap tahu peristiwa sore hari tadi di makam Kucur. Mbah Suro, Mbah Kasun Dul Madjid, Arif dan bapaknya. Sedang di luar rumah dipenuhi dengan pemandangan kalut dari raut muka para warga dan orang tua teman-teman yang bermain bola. Asap rokok terlihat membumbung di udara. Malam ini rumahku seperti wajah mendung yang pucat.

Mereka berembug soal pohon kamboja yang terusik oleh bola. Beberapa detik kemudian, Mbah Dul memulai pembicaraan. Menyampaikan pesan Mbah Suro agar malam Jumat Kliwon seluruh warga Desa Kucur untuk mengirim sesaji ke pohon kamboja. Miris aku mendengarnya. Pesan berikutnya, warga diminta untuk menyiapkan uang koin sebanyak ukuran tampah nasi tumpeng. Dan diletakkan di bawah pohon kamboja pada malam hari. Tepatnya satu hari sebelum acara sesaji malam Jumat Kliwon. Berarti tinggal beberapa hari lagi.

*****

Setelah peristiwa kamboja di makam Kucur itu, tidak ada lagi anak-anak yang bermain bola. Setiap kali matahari sore mau menepi, kata Dewi jarang sekali orang yang berlalu lalang di lokasi makam. Layaknya desa yang terancam kutukan. Aku pun seperti manusia kamar. Selalu menyendiri. Aku benar-benar seperti orang yang tingggal menghitung hari untuk mati. Jika sudah begitu, sesekali adik dan ibu menyempatkan untuk mengetuk pintu kamarku. Mereka berusaha untuk terus menenangkanku.

“Kemarin ibu dan bapak coba anjang ke Haji Rosyid. Ya, setidaknya Wan, Haji Rosyid mampu sedikit mengurangi kegelisahan ibu dan bapak.” Jelas ibu mengawali pembicaraan padaku di kamar.

“Apa solusi dari Haji Rosyid Bu?”

“Memang tak ada solusi pasti dari beliau. Tetapi setidaknya, wejangan Pak Haji bisa sedikit mengurangi rasa kegelisahan kita.” Kata ibu dengan nada ringan, datar, nyaris tanpa emosi. Ibu seperti mendapat amunisi baru. Perubahan sikap ibu itu seperti menggugah protes yang terpendam di hatiku atas vonis Mbah Suro. Tapi tidak dalam waktu lama. Seperti nyala api tungku yang tertiup angin. Menjadikan ruang jiwaku sunyi dan gelap kembali. Itu setelah mengingat keyakinan warga Desa Kucur atas kekuatan terawang Mbah Suro.

“Bagaimana dengan terawangan Mbah Suro? Upacara sesaji tinggal  hari ini dan besok Bu!” Ibu langsung memelukku. Air mataku tumpah di bahunya. Di telinga ibu kubisikkan kata dengan terbata-bata. Kalau Sebenarnya aku sangat jenuh beberapa hari meringkuk di kamar. Aku ingin melawan kutukan itu. Aku ingin tidak percaya terawangan Mbah Suro.

“Kenapa harus aku Bu? Dan kenapa harus dari keluarga kita Bu?”

“Gusti Allah itu Moho Kerso. Jatuhnya sehelai daun itu atas ijin Gusti Allah. Matinya seseorang itu karena kuasa Gusti Allah, bukan kuasa seorang juru kunci atau kuasanya sebatang pohon kamboja. Jadi bukan karena tumbal, bukan pula karena kutukan. Allah berfirman dalam surat Al Imran ayat 185, kullun nafsi dzaaiqatul maut. Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati. Wejangan Haji Rosyid itulah yang membuat hati bapak dan ibu tergugah. Lalu Haji Rosyid mengingatkan kita agar kirim doa ke makam kakakmu besok pagi.” Aku terkesima mendengar pesan itu. Ibu memelukku kian erat. Layaknya kasih ibu yang tak ingin kehilangan buah hatinya.

Di pelukan ibu tiba-tiba aku teringat sosok Mas Ganang terlintas di lamunku. Lengkap dengan kematian tragisnya sebagai tumbal, turut serta melengkapi bayang-bayang ketakutanku. Kini aku seperti berdiri di batas ambang. Berpijak pada pesan Haji Rosyid dan kekuatan terawang Mbah Suro yang sudah merasuk pada keyakinan warga. Perang keyakinan mulai berkecamuk dalam batinku. Sungguh aku benar-benar di atas batas yang bimbang. Hatiku terus dirundung pilu, menghadapi dua keyakinan yang berbeda itu.

Aku berteriak histeris seperti orang kerasukan. Kembali ibu memelukku erat. Bapak yang sedari tadi hanya diam tanpa ekspresi, kini mulai bereaksi. Ia mengangkat tubuhku. Mulutnya lekat di telingaku. Membisikkan lantunan istighfar berulang-ulang.

Astagfirullaah hal’aziim… Lhaa illa hailallah.. Allaahu’akbar.” Bisik bapak berulang. Beberapa lama kemudian aku bisa kembali tenang. Suasana jadi hening. Hanya terdengar suara isakku pada malam yang penuh kelam.

*****

Esoknya, kuning langsat cahaya matahari mulai menebar cahaya. Pecahan-pecahan sinarnya menembus di setiap jendela dan celah rumahku. Seperti cahaya baru dalam ruang gerak kami sekeluarga. Di ruang tamu ibu telah menyiapkan lengkap ubo rampe1 untuk nyekar ke makam Mas Ganang. Kembang kantil, mawar hingga bunga tujuh rupa, sudah tertata rapi di nampan. Aku menjadi terheran ketika di samping nampan bunga, tak kudapati tumpeng sesaji. Bukankah hari ini warga harus menyiapkan sesaji di bawah pohon kamboja. Tanda tanya terus menyelimuti rasa penasaranku. Di ambang pintu keluar, ibu seolah tahu rasa penasaran di pikiranku. “Kita utamakan kirim doa dan nyekar ke makam kakakmu.” Terang ibu sambil mengunci pintu rumah.

Sampai di depan gerbang makam aku masuk lebih dulu. Di area lingkungan makam, aku ingin kembali memandangi kamboja tua yang tumbuh kekar itu. Daunnya merimbun tertiup angin. Di bawah pohon, tampak banyak orang sibuk meletakkan sesaji seperti yang dipesan Mbah Suro. Tubuhku sempat bergejolak melihat situasi itu. Cepat-cepat kualihkan pandanganku untuk memastikan letak makam Mas Ganang. Aku lebih dulu. Kutinggalkan bapak, ibu dan Dewi yang masih nerada di depan luar makan. Mataku terus mencari batu nisaan bertuliskan Ganang Pratama.

Seingatku makam itu tepat di bawah kamboja tua. Kembali aku terkejut. Terlihat ada seorang pelayat jongkok di samping makam Mas Ganang. Tampak asing di mataku. Perlahan aku mendekat. Di balik rerimbun daun-daun pepohonan aku berusaha menyembunyikan diri. Ingin memastikan apa yang sedang dilakukan orang itu. Aku mendengar ia menangis, sambil menyebut nama Mas Ganang berulang-ulang.

“Nang, ampuni dan maafkanlah aku. Ini memang dosaku. Aku semakin tidak kuat menahan rasa bersalah ini. Kabar burung itu Nang… kabar burung itu kian menyiksaku. Kenapa harus dikabarkan sebagai tumbal kamboja. Aku harus mengakhiri kabar ini Nang. Mbah Suro… Mbah Suro…” Sejenak ia menghentikan kalimatnya. Suara isaknya benar-benar menyayat hatiku. Penasaranku kian membias. Belum sampai tuntas. Tiba-tiba dengan nada emosi orang itu mengepalkan tangannya di atas nisan kakakku. “Aku akan membuka tabir ini Nang. Dan semoga itu bisa membuatmu tenang di alam sana!”

Aku mulai menghitung momen yang tepat. Aku keluar dari persembunyianku. Tak kuduga, ternyata bapak, ibu dan Dewi sudah berada di belakang orang itu. Bapak langsung memeluk anak itu. Bapak dan ibu seperti terlihat akrab. Saat itu juga anak itu berssimpuh di kaki kedua orang tuaku. Menceritakan tabir dan tumbal misteri itu.

“Bapak, Ibu maafkan saya. Kematian Ganang bukan karena tumbal kamboja. Tetapi, kambuh jantungnya…” Tangis deru yang menggetarkan tubuhnya itu telah menghentikan rangkaian kalimat faktanya. Dengan sabar bapak terus menenangkannya sambil mendesak agar anak itu kembali bercerita soal kematian Mas Ganang yang sebenarnya.

“Sore itu kami asyik bermain bola, menjelang maghrib permainan belum berhenti. Tiba-tiba Ganang terjatuh, tersungkur di tanah. Ia mengerang hebat sambil memegangi jantungnya.” Ungkap pemuda itu.

“Lalu kenapa waktu itu tidak kau katakan yang sebenarnya? Mengapa kamu malah mengatakan kalau dia kesurupan?” desak Bapak dengan nada sesal.

“Maafkan saya Pak.. maafkan saya. Sebab waktu itu kami bingung dan Mbah Suro bilang kalau Ganang mengalami kesurupan. Padahal waktu itu dia sempat membisikkan kalau jantungnya terasa nyeri. Entah kenapa tiba-tiba kami percaya begitu saaja dengan keterangan Mbah Suro.”

“Ya sudahlah. Sekarang semua sudah jelas. Itu juga kesalahan kami. Andai kami tahu, jika almarhum waktu itu keluar sore mau bermain bola, pasti kami akan mencegahnya. Tapi bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur.” Sesal bapak sembari menenangkan anak itu yang mulai ketakutan.

Mas Ganang meninggal dunia sebab jantungnya kambuh kala bermain bola sore hari di lapangan ini. Bukan karena gugurnya sehelai daun seperti yang dikabarkan Mbah Suro. Jantungku terasa berdetak kencang. Amarahku terasa memuncak. Bak disambar artusan kilat. Mbah Suro?! Tega sekali dia! Membuang lima tahun keluarga kami penuh dengan luka dengan derita.

Kami pun segera memutuskan untuk pulang. Saat melewati pohon kamboja, aku melihat Mbah Suro bersama para warga membawa sesaji lengkap. Kuberanikan diri menunjukkan fakta sebenarnya. Kucabuti daun-daun kamboja itu. Kulemparkan daunnya ke langit, membiarkan daunnya berhamburan. Kutatap pandangan Mbah Suro. Kurasakan badannya mematung.

Lalu dengan kencang kuucapkan pada daun kamboja, “Gusti Alloh itu Moho Kerso! Gusti Alloh itu Moho Kerso!”

Daun pun melayang bersama hembusan angin tanpa menyimpan misteri kamboja.

 

Catatan

Ubo rampe : Peralatan-peralatan yang diguankan untuk ritual sesaji


Lomba Menulis Cerita (LMC) bagi siswa SD/ MI dan SMP/ MTs

Tahun 2014

  1. Identitas Siswa
1. Nama : Anjar Ryan Harimurti
2. Tempat dan tanggal lahir : Pacitan, 04 Agustus 1999
3. Agama : Islam
4. Sekolah/ Kelas : SMP Negeri 1 Pacitan/ IX
5. Hobby : Membaca, menggambar
6. Finalis : LMC-SMP/MTs
7. Judul naskah : Gugurnya Sehelai Daun
8. No.Telp/ Hp : 087758127891
9. Lomba yang pernah diikuti : a.    Lomba FLS2N cipta cerpen tk. Kabupaten tahun 2014

b.    Lomba FLS2N cipta cerpen tk. Provinsi tahun 2014

c.    Lomba Siswa Berprestasi tk. Kabupaten tahun 2014

d.     Siswa Berprestasi tk. Bakorwil tahun 2014

e.    Lomba LMCR Rohto tahun 2013

f.     Lomba Karya Ilmiah Duta Sanitasi Jawa Timur tk. Kabupaten tahun 2013

g.    Lomba Karya Ilmiah Duta Sanitasi Jawa Timur tk. Provinsi Jawa Timur tahun 2013

1o. Prestasi yang pernah diraih : a.    Juara 1 lomba FLS2N cipta cerpen tk. Kabupaten tahun 2014

b.    Juara 3 lomba FLS2N cipta cerpen tk. Provinsi tahun 2014

c.    Juara 1 lomba Siswa Berprestasi tk. Kabupaten tahun 2014

d.    Finalis Siswa Berprestasi tk. Bakorwil Tahun 2014

e.    25 besar karya favorit lomba LMCR Rohto tahun 2013

f.     Juara 1 lomba Karya Ilmiah Duta Sanitasi Jawa Timur tk. Kabupaten tahun 2013

g.     Juara 3 lomba Karya Ilmiah Duta Sanitasi Jawa Timur tk. ]Provinsi Jawa Timur tahun 2013

 

  1. Orang Tua
1. Nama Ayah : Hari Purnomo
2. Pekerjaan Ayah : Arsitek
3. Pendidikan Ayah : Sarjana
4. Nama Ibu : Yeni Anjarwati
5. Pekerjaan Ibu : Guru
6. Pendiidkan Ibu : Sarjana

 

  1. Keluarga
1. Jumlah saudara kandung :
2. Anak ke berapa : Anak ke-1
3. Apakah ada perpustakaan di rumah :

 

Ada
4. Berapa jumlah buku bacaan di rumah :

 

 

200 buku
  1. Lingkungan

Aku dan Kehidupanku

Namaku Anjar Ryan Harimurti. Aku lahir di kota tercintaku Pacitan, 04 Agustus 1999. Aku bersekolah di SMP Negeri 1 Pacitan kelas IX A. Aku tinggal di sebuah lingkungan asri dan nyaman, yaitu di Jl. Candi Roro Jonggrang RT 01/ 06 Lingkungan Plelen, Kelurahan Sidoharjo, Kec/ Kab Pacitan. Tetangga saya sangatlah ramah dan baik. Kami bertetangga dengan rukun. Kami hidup berdampingan dengan rasa aman dan tentram. Kami saling membantu dan saling gotong royong. Keluarga saya juga ikut aktif dalam organisasi kemasyarakatan, yaitu kegiatan PKK. Sedangkan saya tetap aktif mengikuti kegiatan karang taruna yang ada di lingkungan.

Aku adalah anak tunggal. Sebagai anak tuggal sering teman-teman ibu bahkan temanku sendiri yang menggoda bahwa aku ini anak kesepian dan terkesan “manja”. Memang aku akui bahwa aku sedikit manja, hanya saja aku yang manja, tidak dengan orang tuaku yang memanjakanku. Aku pun jarang keluar rumah. Waktu bermainku kugunakan untuk tidur, kadang membaca buku, menonton film atau bermain internet. Kami memiliki perpustakaan kecil di rumah. Mulai dari novel, majalah, komik, cerita mahabarata, cerita rakyat daerah, dan lain-lain. Di rumah aku juga banyak mengoleksi film. Sering aku dan ayah duduk di sofa, menyaksikan film baru atau film favorit keluarga kami, Shrek. Kalau ibu? Ah kadang ibu sambil mengoreksi pekerjaan muridnya atau memperingatkan kami untuk mengecilkan volume yang sengaja kami keraskan.

Ayahku Inspirasiku, Ibuku Pahlawanku

Ayahku, Hari Purnomo adalah seorang arsitek dan desainer interior. Ibuku, Yeni Anjarwati berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia di SMK Negeri 3 Pacitan. Memiliki orang tua mereka berdua adalah hal yang sangatlah luar biasa! Seperti yang kukatakan, ayahku adalah inspirasiku. Sejak kecil aku selalu mengidolakannya. Seperti hobiku menggambar dan mengikuti berbagai perlombaan menggambar. Ayahku juga pernah membuat cerpen dan membuat komik. Itulah mengapa aku tertarik di dunia sastra dan seni. Kalau ibu, tentu ia juga pahlawanku. Dengan sabar dan telaten selalu ia berikan segala nasihat padaku. Setiap aku merasa malas belajar selalu bilang bahwa belajar itu bukanlah hal yang sulit. Setiap aku merasa malu akan sesuatu ia selalu bilang, “kenapa malu? Kan kamu  tidak mencuri”. Ayah dan ibu berbeda. Ayah cenderung diam, kalem, namun humoris. Ibuku sangatlah tegas, disipilin, sabar, dan ramah. Selamanya, mereka akan selalu menginspirasi perjalanan hidupku.

Sekolahku dan “REGAS 12”!

Aku bersekolah di SMP Negeri 1 Pacitan. Berada di pusat kota, yaitu di Jl. Ahmad Yani no 41 Pacitan. Tepatnya berhadapan dengan pendopo kabupaten dan alun-alun kota. Lingkungan sekolahku kadang menjadi ramai jika sedang ada kegiatan besar, seperti ulang tahun kabupaten, peringatan HUT RI, dan sebagainya. Tetapi sekolah membuat kegiatan belajar mengajar sekondusif mungkin. Sebagai sekolah Adiwiyata lingkungan sekolahku sangat sejuk dan rindang. Banyak pepohonan dan tanaman hias yang menghiasi sekolah. Membuat kegiatan belajar dan mengajar menjadi asyik dan menyenangkan. Ada pula green house dan taman kecil yang selalu menyegarkan mata kami. Kami merasa bangga memiliki kepala sekolah guru-guru yang sabar dan hebat. Mereka sangatlah baik, rajin dan penuh pengertian. Aku sadar, tanpa bimbingan dan doa dari mereka tentu aku tidak akan mengecap bagaimana rasa keberhasilan. Dan tidak kalah juga, teman-temanku yang heboh dan menawan.

Sebagai anak tunggal aku tidak mempunyai teman bermain di rumah. Sedangkan di lingkungan tidak ada anak yang sebaya dengan usiaku. Teman bermainku adalah teman-teman di sekolah yang hampir setiap hari bertemu. Dan inilah teman-teman sekelas saya yang keren dan kreatif, “REGAS 12”! Kami belajar, bermain dan berjuang bersama untuk meraih cita-cita kami. Selain bertemu di sekolah kadang kami berjalan-jalan sekedar untuk bersepeda atau makan bersama. Di sekolah aku juga mengikuti kegiatan OSIS yang padat untuk mengisi waktu luang. Namun aku juga mengikuti kegiatan karang taruna di lingkungan yang aktif sampai sekarang.

Teater Aji dan Pelangi Sastra

Ekstra di sekolah yang kupilih merupakan ekstra yang benar-benar berhasil mengekspresikan suasana hatiku. Yang pertama adalah Teater Aji. Aku tertarik dengan seni teater yang menurutku sangatlah membebaskan eskpresiku. Aku juga mulai tertarik untuk menjadi sutradara dan penulis nanti. Setiap hari Rabu kami rutin melakukan latihan dasar untuk melatih kemampuan di bidang seni teater.

Nah selanjutnya adalah ekstra yang menghantarkanku mencapai kesuksesanku ini, Pelangi Sastra! Kami anak-anak sastra memiliki pelatih dan pembina yang sangatlah hebat, Pak Endro Wahyudi S,Pd. Selain jasa beliau, tidak lupa juga dengan pembina kami yang tak kalah hebatnya. Ada Ibu Sri Utami M.Pd. Setiap hari Kamis kami tidak hanya berkumpul dan melepas lelah, tapi kami juga berlatih dan belajar mengenai dunia sastra. Mulai dari cipta dan baca puisi, cipta cerpen, kajian sastra dan sebagainya. Awalnya sulit mengajak teman-teman untuk mengenal dunia sastra. Tapi alhamdulillah, peminat sastra setiap tahunnya bertambah. Oleh Pak Endro tidak hanya diberikan materi dan cara menulis cerpen dan puisi dengan benar, tapi kami juga berlatih menulis cerpen dan puisi sampai mengkaji karya kami bersama. Dari semua kegiatan di sastra itu, menulis cerpen merupakan kegiatan yang paling aku senangi. Dengan menulis cerpen aku merasa lebih bebas mengekspresikan diriku lewat tulisan cerpen.

Pengalaman Menulis dan Buku yang Telah Dibaca

Pengalaman menulisku diawali dengan hobi saya membaca sejak kecil. Di rumah kami memiliki buku bacaan lebih dari 200 buku. Mulai dari majalah, komik, surat kabar, Novel, Cerpen, Cerita Mahabarata, Cerita pewayangan, dan yang lainnya. Buku yang pernah kubaca dari tahun 2013-2014 sekitar 15 buku. Aku mulai berminat untuk menulis ketika guru SD aku sering memberikan tugas menulis pengalaman pribadi dengan tema yang sama, yaitu kegiatan di waktu liburan. Aku selalu bersemangat menulis cerita itu. Hingga saya menemukan taktik jitu, yaitu menulis cerita sebaik mungkin sebelum guru memberikan tugas tersebut. Ketertarikanku terhadap sastra meningkat setelah mengikuti ekstra sastra di sekolah, yaitu Pelangi Sastra. Mulai dari itu aku mulai menulis cerpen. Setiap hari Kamis kami berlatih menulis cerpen dan puisi lalu membaca hasil karya kita sendiri. Selain itu kami juga mengkaji karya-karya kami sendiri dan sastrawan lainnya. Karya yang aku buat terinspirasi oleh keadaan di lingkunganku, seperti cerpenku Gugurnya Sehelai Daun ini. Selebihnya adalah imajinasi saya. Cerpen saya belum dimuat di surat kabar/ majalah, tetapi dulu sewaktu kecil aku pernah mengirimkan geguritan (puisis bahasa jawa) terhadap redaksi Jaya Baya. Sehingga karyaku ditampilkan dengan ilustrasi yang kubuat sendiri.

Mengapa Aku menulis “Gugurnya Sehelai Daun”?

Penulisan cerpen “Gugurnya Sehelai Daun” berawal dari sebuah peristiwa mengagumkan yang aku alami. Yaitu pohon kamboja mungilku yang telah berbunga untuk pertama kalinya. Rona putih kekuningan itu menciptakan sebuah ide liar di otakku untuk menciptakan cerpen ini. Bunga kamboja adalah bunga yang unik. Di balik rona cantik dan wangi khasnya, tersimpan berbagai misteri yang telah merasuk dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang-orang menganggap bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki suatu kekuatan magis, tak terkecuali kamboja. Untuk itu aku mencoba mematahkan berbagai misteri yang tertanam di masyarakat dengan logika yang dibangun dalam cerpen ini. Kekuatan terbesar adalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan kita yang tinggal di suatu lingkungan dengan berbagai keyakinan, suku, dan budaya yang berbeda adalah sikap saling menghargai dan menghormati budaya tersebut. Tentu dengan berpegang teguh pada keyakinan kita. Sehingga tercipta lingkungan yang aman, tentram dan saling menghargai antar sesama.

PUISI : SANG PENARI (AULIA)

PUISI : SANG PENARI (AULIA)

SANG PENARI

Alunan musik itu telah menjelma

Pada sosok gemulai di sorotan

Siratan wajah dan paras indahnya

Tak akan bisa terhapuskan

 

Lentik jari jemarinya

Selaras dengan alunan musik yang ada

Kibasan selendang biru miliknya

Melambangkan kenyamanan hatinya

 

Dia…

Seorang penari gambyong

Yang tidak pernah sombong

Meski namanya sangat tersohor

LEBIH DARI SEKEDAR SOSIALISASI, DPRD PACITAN BERGERAK UNTUK GENERASI MUDA PACITAN

LEBIH DARI SEKEDAR SOSIALISASI, DPRD PACITAN BERGERAK UNTUK GENERASI MUDA PACITAN

Gambar : Siswa mengikuti kegiatan simulasi Rapat Paripurna di Gedung DPRD Kab. Pacitan

Spensapa (6/11/2023). Selasa (24/10) pagi pukul 08.00 WIB sekitar 127 siswa berkumpul di halaman SMP Negeri 1 Pacitan bersiap berangkat ke gedung DPRD Kabupaten Pacitan. Kegiatan ini tak lain guna memenuhi undangan kegiatan Sosialisasi DPRD Untuk Generasi Muda. Selain sosialisasi di DPRD yang beralamat di jalan Jend. A. Yani No.22 Pacitan, siswa Spensapa juga di berikan studi tour ke  ruangan- ruangan yang digunakan oleh anggota dewan DPRD dan ada 12 siswa diberikan kesempatan untuk memperagakan proses rapat paripurna. “Iya kita sangat seneng pak, bisa nyoba jadi anggota DPRD walau hanya simulasi tapi paling tidak kita sudah nyoba kursi dewan. Dimana di kursi ini, semua anggota dewan rapat menentukan kebijakan dan memutuskan semua hal untuk kebaikan masyarakat banyak khususnya di Kabupaten Pacitan”. kata bagus siswa dari kelas IXA.

Sebelum memasuki ruang sidang, 12 anak yang dipilih sebagai peraga dibawa ke ruang transit untuk diberi arahan terkait tugas, peran dan susunan kegiatan dalam rapat Paripurna yang akan dilaksanakan. Briefing tugas ini disusun oleh Bapak Yanto dan sebagian staff pada gedung DPRD tersebut.  12 anak dipilih dalam perannya masing-masing. Di bangku sebelah barat diduduki oleh 5 anak yang berperan sebagai Kepala Jaksa, Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua Pengadilan Agama. Dan di meja bagian tengah diduduki oleh 5 anak yang berperan sebagai, Wakil Bupati, Bupati, Ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD 1, dan Wakil Ketua DPRD 2. Kemudian di bangku sebelah timur diduduki oleh 2 anak yang berperan sebagai Sekretaris Daerah dan Sekretaris DPRD.

Gambar : Dapat hadiah doorprize dari DPRD pacitan

“Luar biasa dan terima kasih kami sampaikan untuk segenap keluarga besar DPRD Kab. Pacitan atas undangannya dan doorpricenya. Kami sangat mengapresiasi kegaitan semacam ini karena dapat membuka wawasan siswa mengenai sistem pemerintahan daerah dan tugas serta peran anggota DPRD”. terang Sri Hartati, M.Pd guru pendamping yang juga mengajar Mapel Bahasa Indonesia.

Hubungi Kami

© 2022 SMPN 1 PACITAN