JALAN SIMPANG
Karya: Sekar Arum Srigati
Malam terasa pekat di Jalan Simpang. Suasana itu baru kusadari, setelah aku melangkah hingga sampai jalur atas. Rasa sesal dan takut mulai tumbuh dalam hati. Kenapa aku tidak ikut pulang bersama dua temanku tadi? Mungkin saat ini mereka sudah di rumah. Sudah memberi makan ternaknya dengan rumput segar yang didapat di kaki jalan simpang ini. Di bawah sana. Kurang lebih 200 meter dari tempat kuberdiri saat ini. Kenapa aku harus mengikuti rasa penasaranku. Berdoa di makam Kyai Kanjeng Giri. Kabarnya siapa yang mau berdoa dengan kusyuk ditempat itu, suatu hari doanya akan terkabul. Padahal aku hanya ingin tahu, lalu berdoa, agar diberi petunjuk, kenapa orang sebaik Mbah Wiro harus meninggal karena kualat. Kualat karena apa? Hal itu yang membuatku hingga menjelang malam tersesat di jalur simpang atas ini.
Jalur atas, menuju makam Kanjeng Giri, terlihat begitu mencekam. Gelap. Yang pasti, tak ada satu pun cahaya lampu di sisi jalan. Pohon-pohon yang menjulang, dengan dedaunan yang merumpun dari berbagai ranting, tampak seperti gerak-gerik bayang-bayang saat tersapu cahaya malam. Tubuh ini terasa keder dan bikin bulu kuduk merinding dingin. Menakutkan. Ini memang bukan persimpangan biasa yang berpoles aspal dengan ditemani cahaya neon. Ini persimpangan tanah basah. Persimpangan yang dikenal sebagai persimpangan Kanjeng Giri.
Bagi warga kampung ini, Kanjeng Giri adalah seorang pertapa yang babat alas kali pertama di desaku. Makamnya terletak tidak jauh, 100 meter dari jalur atas tempatku berdiri saat ini. Tepat dibelakang pohon besar yang merupakan penanda letak makam.“Persimpangan yang menakutkan. Persis seperti yang diceritakan Bapak,” batinku. Aku merinding, bulu kudukku terus menerus menegang. Kini, aku berdiri di jalur persimpangan angker. Di jalur kiri, bersandar pada batang besar pohon tua yang tertanam kokoh di sudut jalan.
Kurasakan angin malam melintas. Beriringan dengan gemuruh dan suara gesekan dedaunan. Tidak berapa lama, tiba-tiba, terdengar suara keras diikuti kilatan cahaya yang menampar. Duuaaaarrr!!!! Jalanan sempat terlihat terang. Mataku menyipit, tubuhku gemetar hebat. Dari kilatan itu, aku melihat jajaran nampan sesaji berisi bunga berlapis daun pisang di pinggiran jalan persimpangan hingga ke arah tempatku berdiri. Mataku kembali menangkap sesuatu yang membuat jantungku kian berdetak. Sesaji? Bukankah itu alat perlengkapan prosesi kemarin yang dilakukan warga desa agar terhindar dari bahaya dan kutukan kualat. Selain itu, sesaji itu juga dimaksudkan untuk persembahan atas rasa terima kasih kepada danyang di tempat jalan simpang. Konon, danyang itu bertugas menjaga ketenangan hutan yang sudah dipercayai warga sejak dulu. Kreeek! Di depanku, sebuah nampan sesaji bergeming pelan tertendang gerak kakiku, “Aduh, bisa kualat aku,” sesalku dengan kesal. Pikiranku tiba-tiba saja menghubung ke sebab kematian Mbah Wiro. Yang terkabar, meninggal karena mengusik nampang sesaji.
Duaar..! Kilatan cahaya kembali menyambar. Tubuhku semakin gemetar. Bulu kudukku berdiri tegang. Tegang sekali!! Bersamaan dengan itu, mataku seperti menangkap sebuah bayangan. Sebuah sosok tubuh yang melintas di depan mataku. Lalu menyusul suara langkah kaki. Semakin dekat. Dengan sisa-sisa keberanian, aku bersembunyi di balik pohon tempatku bersandar. Kupejamkan mataku. Kurapal segala doa yang ku tahu.
“Assallamualaikum. Bismillahirromanirrohim. Nuwun sewu Mbah, Dalem tidak bermaksud seperti Mbah Wiro. Ampun Mbah..ampun.” Batinku terus berdoa. Mataku memejam. Aku sungguh tak ingin menjadi korban seperti Mbah Wiro. Aku benar-benar ketakutan. Aku hanya tidak sengaja menendang sesaji itu. Aku tidak ada maksud untuk mengambil sesaji itu seperti cerita atas apa yang dilakukan Mbah Wiro. Aku terus berharap dalam batin, agar danyang itu, bisa mendengar bahasa doaku. Agar juga mau memaklumi niatku untuk datang ke tempat ini.“Bapak benar. Seharusnya aku tak di sini. Mereka nyata! Penunggu itu bukan omong kosong,” yakinku.
Badanku menggigil. Kematian misterius Mbah Wiro kembali memenuhi ingatan. Sungguh kematian yang misterius. Kenapa orang sebaik Mbah Wiro harus meninggal dengan cara seperti itu. Seolah, kisah dan kondisi meninggalnya Mbah Wiro bagai layar film yang memenuhi rongga mataku. Terus bergelayut dalam ingatan di kepalaku. Persis seperti yang dikisahkan dalam cerita Bapak. Jasad Mbah Wiro, tergeletak di muka jalan, persis di depan gerbang masuk dekat makam Kanjeng Giri. Mbah Wiro, kabarnya melanggar aturan adat sebab makan makanan sesaji yang diperuntukkan bagi penunggu persimpangan. Mbah Wiro kualat. Begitu cerita yang terus menerus disampaikan Bapak kepadaku. Bahkan juga kepada seluruh warga kampung. Dan kini, aku berada di tempat kematian Mbah Wiro. Di dekat jalur yang bisa menelan nyawa siapa saja. Kembali kutatap jalur simpang arah ke bawah. Rasanya ingin aku berlari kembali ke arah kampung. Bagaimana bila nanti aku seperti Mbah Wiro? Tanpa pikir panjang kuambil keputusan. Kemudian semua gelap.
***
Aku terbangun. Aku masih belum tersadar betul. Tubuhku masih terbaring di atas kasur kamar. Pikiranku masih melayang. Pertanyaan-pertanyaan sulit kembali mengisi otakku. Mimpikah aku? Bukankah kemarin aku ingin berdoa di makam Kyai Kanjeng? Kenapa sekarang aku terbaring di kamar. Suasana riuh di depan dan didalam rumah mulai terdengar. Bahkan, kamar terasa panas. Mataku menyapu orang-orang yang berdiri berdesakan. Terlihat sorot mata mereka ingin mencuri pandang padaku. Aku juga mulai mendengar pembicaraan-pembicaraan yang menegangkan dari mereka. “Iso-iso kualat iku Kedadeyan maneh,” dengarku sekilas.
Belum sempat aku mendengar obrolan-obrolan mereka lebih lanjut, dari pintu kamar tampak Ibu, Bapak dan Mbah Suro memasuki kamarku. Lamat kulihat seperti ada rasa tegang dalam wajah Ibu dan Bapak. Mereka seolah sedang menanggung beban yang berat. Saat itu juga aku baru tersadar dan langsung menebak jika ini ada kaitannya dengan peristiwa yang aku alami di jalan simpang jalur atas.
Aku mencoba bangkit. Tapi tubuhku terasa sakit. Dan punggunggku terasa ada yang ngilu.”Sudah Nu, istirahat dulu. Tidak apa-apa. Ini juga ada Mbah Suro yang akan segera menyelesaikan urusannya nanti, Nak,” ujar Ibu sambil menenangkanku. Lalu kutoleh ke Mbah Suro. Ya, Mbah Suro adalah saudara kandung satu-satunya Mbah Wiro. Mbah Suro juga dikenal sebagai orang pintar di desa ini. Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Keberadaan Mbah Suro di rumah, berarti ada kaitannya dengan keberadaanku kemarin waktu di jalur simpang atas. Tapi apa yang terjadi pada diriku.
“Urusan nanti. Urusan apa Bu? Ada apa dengan aku Bu?” tanyaku dengan penuh penasaran. Ibu tak langsung menjawab. Ia seperti pasrah pada Mbah Suro. Mata Ibu terlihat sembab dan sepertinya menyimpan rasa takut dan kekuatiran.
“Tadi malam kamu tidak pulang Nu. Seluruh kampung pada bingung mencari kamu. Baru Subuh tadi, Kang Marno dan warga membopongmu pulang dengan kondisi kamu tidak sadar,” terang Bapak dengan suara yang terdengar parau.
“Sudahlah, tidak apa-apa Nak. Yang penting kamu sekarang sudah ada di rumah dan masih dalam keadaan selamat,” pungkas Mbah Suro dengan tenang. Lalu, ia meminta izin padaku untuk memeriksa dengan kekuatan mata batinnya.
Mbah Suro menatapku. Matanya menerawang dalam, seperti meradang, menelusuk ke masa mencekam malam kemarin. “WIRO!” teriak Mbah Suro tiba-tiba. Tegang, jantungan! Semua seperti terkena gebrakan dahsyat dalam sekejap. Mata mereka melotot dengan pandangan serius. Mbah Wiro, nama yang diteriakkan Mbah Suro mendebarkan jantungku. Mungkin pula warga lain. Kenapa tiba-tiba Mbah Suro berteriak? Wajah tuanya nampak gelisah. Pandangan Mbah Suro yang memejam sesaat itu, membuatku merinding turut gelisah. Lalu ia mengusap wajahku hingga tiga kali, dan meniup jidatku setelah merapal doa. “Yakinlah Nu, Insya Allah, Gusti Allah akan memberi jalan keluar. Ingat Nak, Gusti Allah itu moho pengampun. Wis ora usah wedi lan kuatir,” urai Mbah Suro.
Sontak semua warga yang ada, ikut-ikutan tegang dan terkejut. Aku gusar, gugup! Kian bingung dan takut. Bagaimana jika aku kualat. Bahkan para warga seolah juga menyimpan pertanyaan itu di benak mereka. Pertanyaan ini membuatku terdiam kaku. Harap-harap cemas. Bagaimana nanti nasibku? Bayangan kematian Mbah Wiro melintas di benakku. Ah, apa iya semua akan berakhir seperti itu? “Kalau sudah seperti ini, harus ada dua tebusan,” tegas Mbah Suro. Katanya, jika dua tebusan yang ia sampaikan itu tidak dijalani risikonya akan sama seperti yang menimpa Mbah Wiro. Kualat!
Mbah Suro, menceritakan ulang akan kematian saudara kandungnya itu.
“Kejadian kualat Mbah Wiro, bisa akan kembali terjadi di desa ini, bila dua cara tadi tidak kita jalani,” tegas Mbah Suro pada Bapak dan Ibu, yang juga didengar oleh seluruh warga yang ada di rumahku.
“Menurut mata batin saya, danyang di jalur simpang atas itu marah, sebab sesajinya terusik. Jadi, tebusan yang pertama, Danu kudu diruwat!” jelas Mbah Suro dengan tatapan menerawang. Aku terdiam, menangis dalam hati. Kulirik Bapak dan Ibu, mereka mangangguk setuju. Setuju akan ruwatanku.
“Tebusan yang kedua, Danu juga harus minta maaf pada danyang sana. Minta maaf seorang diri di Makam Kyai Kanjeng Giri,” lanjut Mbah Suro menatapku tajam. Seolah mengisyaratkan sesuatu ke dalam pandang mataku. Bapak melangkah maju. Dahinya mengernyit seperti menangkap sesuatu hal yang mengganjal.
“Mbah, apa itu harus? Danu masih bocah. Sebagai Bapaknya, saya tak sampai hati membiarkan dia sendiri ke Makam Kyai Kanjeng. Apa tidak bisa saya gantikan saja, Mbah?” pinta Bapak. Mbah Suro memandang Bapak sebentar, lalu menggeleng.
“Tidak bisa, Pak. Ini adat, musti dituruti. Danu tetap harus meminta maaf seorang diri!” kukuh Mbah Suro. Di sela-sela itu, dia juga menyampaikan akan hasil terawangannya, jika aku berhasil melakukan kedua tebusan itu,
“Nanti kita juga akan mendapat kabar, sebab apa Wiro adikku meninggal, jika Danu berhasil menjalani kedua tebusan itu,” imbuh Mbah Suro yang kian membikin rasa penasaran seluruh warga. Termasuk aku. Bulu kudukku bergidik. Sendirian ke makam keramat? Susah kubayangkan. Mendengarnya saja aku takut minta ampun.
Beda halnya dengan Bapak. Bapak sepertinya tidak setuju. Bapak mendesis tajam, berulang kali menawar keputusan Mbah Suro. Tapi, Mbah Suro teguh akan pendiriannya. Bahkan seperti terlihat ada tatapan tajam di antara keduanya. Seperti tatapan ganjil yang menyiratkan ada sesuatu hal yang dirahasiakan. Bahkan sempat terlontar ucapan Bapak ke Mbah Suro, kalau dia tidak percaya dengan semua terawangan Mbah Suro. Tapi Mbah Suro tidak menggubrisnya. Intinya, aku harus minta maaf! Kalau tidak, aku bakal bernasib seperti Mbah Wiro!
***
Ini esok yang muram dan melelahkan bagiku. Acara ruwatan, minta maaf pada danyang di makam Kyai Kanjeng Giri memenuhi pikiranku. Kian rumit saja. Ruwatan dengan segala prosesinya sudah kujalani. Itu pun dibantu para sesepuh warga dan Mbah Suro.
Pada acara itu Bapak sama sekali tidak terlibat banyak. Bapak hanya melihat-lihat saja. Sesekali sambil melihat dengan pandangan tidak suka pada apa yang dilakukan oleh Mbah Suro. Baginya ruwatan semacam ini adalah prosesi yang tak ada gunanya. Buat apa dialksanakan ruwatan segala? Buang-buang waktu dan biaya saja.
Setelah itu hingga malam penebusan kedua Bapak sama sekali tidak terlihat. Menjelang pemberangkatan dan upacara permohonan restu pada keluarga pun Bapak juga tidak tampak. Aku tidak tahu di mana keberadaan Bapak. Hal itu tentu menimbulkan praduga pada warga. Walaupun tidak setuju terhadap Mbah Suro, harapan mereka bapak berkenan mendampingiku. Bukan malah menghindar untuk menunjukkan rasa ketaksukaannya kepada Mbah Suro.
Waktunya telah tiba. Begitu kata Mbah Suro mengingatkan. Lalu ia membisikkan sesuatu di telingaku. Aku sempat terhenyak mendengar bisikan itu. Benarkah? Kenapa Mbah Suro begitu yakin bahwa nanti aku akan mendapatkan jawaban juga sebab dari kematian Mbah Wiro. Bisikan itu sebenarnya kian mengikis rasa takutku. Tapi, yang sempat membuat aku bingung ketika kata terakhir yang ia bisikkan menyebut soal Bapak. Dan sayangnya ada beberapa kata yang tidak tertangkap jelas dalam bisikkannya.
Malam mencekam di jalan jalur simpang atas mulai terasa lagi. Deru halilintar yang menyambar-nyambar bercampur gerimis kian menambah suasana yang menakutkan. Aku berjalan pelan mendekati jalur atas. Hingga tak terasa sudah mau mendekati jalur gerbang menuju hutan desa. Hutan tempat bersemayam makam Kyai Kanjeng Giri. Angin tiba-tiba saja melintas kecil. Aku berhenti. Rasanya seperti berdiri di depan pintu gerbang. Bukan dinding, tapi rumput gajah yang tumbuh menjulang melebihi tinggiku. Perlahan rumput itu bergoyang seiring angin yang kembali lewat. Derit ranting pohon juga terdengar. Suasana ini mengintimidasiku. Hening tapi mencekam. Cerita mistik kematian Mbah Wiro menelusuk kembali ke batin. Takut.
Aku menghela napas. Kucoba untuk membuang keraguan yang menyelimuti relung hatiku. Tak bisa kupungkiri jika malam ini aku benar-benar takut. Sendirian di hutan untuk menjalani ritual yang sungguh tak bisa kunalar, teramat sulit. Terlebih sesekali lolongan anjing terdengar di kejauhan. Menggelayut erat pada tapak kakiku.
Tapi, bisikkan Mbah Suro soal kabar kematian Mbah Wiro dan kaitannya dengan Bapak, mampu mengalahkan rasa takutku. Segera kuenyahkan kegalauan ini. Aku harus segera minta maaf lalu semua selesai. Kutelusuri jalur atas hingga masuk ke dalam pintu gerbang hutan. Ada yang ganjil dalam benakku ketika tiba-tiba mataku melihat pohon semakin jarang di tengah hutan. Semak belukar menipis. Jalanan licin dengan dedaunan kering berserakan. Awal tadi, rumput masih rimbun dan pohon masih rapat. Namun, semua menyusut perlahan. Kalaupun masuk hanya beberapa meter dari muka jalur atas. Seingatku, prosesi adat hanya dilakukan di minggu awal pergantian bulan
Di depan sana, sebuah pohon besar tumbuh. Diameternya begitu lebar. Pohon itu nampak kokoh dan garang ketimbang lainnya. Kudekati pohon itu menuju baliknya, makam lawas. Tempatku meminta maaf. Krek! Kaki kananku menginjak sebuah benda keras. Kuambil benda itu. Korek api! Bagaimana mungkin di tempat ini ada korek api? Apa sisa prosesi adat? Tapi, sejauh ini? Tap! Tap! Tap! Suara langkah kaki! Kubuang pecahan korek lalu bersembunyi di balik pohon besar makam. Aku melihat seseorang. Tubuhnya agak besar, tegap. Dan bersama orang lain yang mengikuti dari belakang. Orang itu, ah! Itu Bapak! Aku tak habis pikir.
Kenapa Bapak di sini bersama banyak orang? Apa Bapak mau menggantikanku minta maaf? Lalu siapa orang-orang yang menakutkan itu? Aku terdiam mengamati. Kalau benar begitu, berarti Bapak memang mau menggantikanku. Dan itu berarti Bapak benar-benar tidak percaya dengan terawangan Mbah Suro.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus memburu di benakku. Berikutnya terus tumbuh banyak hal dalam pikiranku. Aku mulai beranggapan jika Bapak ingin membuktikan penebusan itu yang bisa ia gantikan. Berarti sangat beralasan kalau dia melarang aku malam ini untuk tidak datang ke hutan ini. Wah, Bapak bisa marah besar andai dia tahu kalau malam ini aku berada di hutan ini.
Ah, benar! Bapak pasti akan menggantikanku minta maaf. Lalu mungkinkah ini yang dimaksudkan Mbah Suro soal hubungannya dengan Bapak. Mungkin ada benarnya kala Bapak bilang pada Ibu waktu acara ruwatan kemarin. Katanya aku tetap tidak boleh menjalani tebusan kedua. Alasannya, Mbah Suro itu tidak selalu benar ucapannya. Ia meyakinkan pada Ibu kalau Mbah Wiro yang lebih kuat daya spiritualnya saja telah jadi korban. Apalagi aku. Karena itu ia tegas menolak.
“Sebaiknya aku pulang.” Telah kutegaskan pada diriku. Dan aku yakin apa yang dikatakan Bapak benar. Aku mulai berpikir logis dengan kematian Mbah Wiro seperti yang disampaikan Bapak pada Ibu. Aku juga tidak mau menjadi korban yang kedua setelah Mbah Wiro.
Aku berbalik arah bawah, menuju ke arah kampung. Sampai tiba di kaki jalan simpang, terdengar suara gemuruh. Aku melihat keadaan di jalur atas. Terlihat burung-burung beterbangan menjauhi hutan. Pepohonan bergoyang kecil. Aku melotot. Suara gemuruh berasal dari hutan! Sekian detik aku terpaku di depan hutan, hujan mulai turun.
“Semua ke gapura! Cepat! Longsor! Longsor!” teriakan para warga yang jaraknya tidak begitu jauh terdengar. Aku takut kebingungan. Bayangan longsor beberapa tahun lalu terlintas di benakku. Longsor bukit atas di jalur atas hutan, ganas menerjang apapun yang ditemui. Longsor persimpangan tanah basah! Tanpa pikir apapun, aku segera berlari kembali ke atas. Bapak masih di sana! pikirku. Aku harus memberitahunya tentang keadaan yang akan menimpa desa ini. Aku terkejut melihat perubahan keadaan hutan yang belum lama kutinggalkan.
Terlihat, di samping pohon tua, Bapak berdiri bersama beberapa orang yang memegang gergaji mesin. Tanpa pikir panjang aku berteriak refleks.
“Pak mau longsor cepat turun!” Tiba-tiba, BRUK! Aku terkejut, Bapak menebasnya! Pohon keramat pertanda makam Kanjeng Giri tumbang. Bersamaan dengan itu Bapak menoleh kepadaku,
“Bukankah kau sudah kuingatkan untuk tidak ke hutan malam ini Danu?!” teriak Bapak dengan wajah marah.
Sejenak aku terdiam. Kutatap sekeliling. Oh, astaga! Pohon-pohon bergelimpangan di tanah basah. Serut kayu di mana-mana. Langit kembali mengeluarkan suara bergelegar. Tanah mulai terasa bergerak-gerak.
“Pak, cepat turun!” pekikku pada Bapak sambil berlari kencang menuruni hutan.
***
Hutan marah! Langit marah! Hujan semakin lebat. Halilintar terus menyambar. Bumi bergoyang! Dari kaki jalan simpang aku bergabung bersama warga yang juga sibuk menyelamatkan diri dan keluarganya menuju penampungan tempat yang aman. Aku melihat Ibu di sana dengan wajah haru.
Situasi benar-benar mencengangkan. Di luar tempat penampungan masih terlihat, seorang Ibu menggendong balita dengan menangis pilu, tak peduli kaki sakit menatap kerikil, bahkan tak peduli hujan dan tanah yang bergoyang. Semua berlari.
Di penampungan kuceritakan pada Ibu jika Bapak masih di atas hutan. Ibu terkejut. Lalu menetes buliran bening dari kelopak matanya.
“Mengapa, Bapakmu masih mengerjakan pekerjaan mencuri kayu hutan itu. Andai dia mau mendengar omongan Ibu agar menghentikan pekerjaan haram itu, mungkin Bapak tidak akan menjadi korban longsor, mungkin juga Mbah Wiro juga tidak akan meninggal dengan cara seperti itu. Mungkin desa kita tidak akan terjadi longsor seperti ini.”
Aku tak mampu menahan emosi yang bergejolak dalam batinku. Aku larut dalam duka Ibu. Tak kuduga ternyata Ibu telah tahu semua. Namun sengaja ia menyimpannya untukku kelak. Agar aku tahu sendiri.
“Mbah Suro yang telah bercerita ini semua, Nak,” terang Ibu sambil berurai air mata. Kami terus berpelukan. Hingga tak terasa terdengar suara Mbah Suro, agar kami bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Gusti Allah.
“Semua telah digariskan, Nu. Tinggal kita bertawakal. Tahu budi dan bisa menahan diri terhadap nafsu yang sengaja membuat kita celaka. Hendaknya kita mawas diri dan selalu eling,” nasihat Mbah Suro.
“Bapakmu sebenarnya baik, hanya ketamakan yang menyebabkan ia nekat seperti itu. Ini pelajaran bagimu, Nu. Jangan kau tiru Bapakmu,” lanjutnya kemudian.
Kami benar-benar merasa berdosa kepada Mbah Suro. Jika tahu ceritanya, soal kebenaran kematian Mbah Wiro yang dibunuh oleh beberapa orang karena menghalangi proses pencurian kayu di hutan. Kata Ibu itu adalah pekerjaan Bapak. Kini benar apa yang dikatakan Mbah Suro. Setelah di hutan aku akan tahu semuanya.